dokpri |
Rumah kelahiranku serasa terbayang kembali. Hampir 50 tahun lalu saat aku meninggalkan rumah kenangan indah. Bukan rumah “gedong” tapi rumah bangunan dengan gaya arsitektur tradisional. Rumah dengan pintu dan jendela-jendela terbuka besar. Seolah-olah siapa pun yang ingin melihat ke dalam rumah, cukup menengok di jendela itu.
Mudah sekali menemukan rumaku karena lokasinya yang strategis. Dari jalan besar yang ditengahnya ada Sungai yang mengalir maka jalan besar itu di sebut kampung kali.
Begitu masuk beberapa meter dari gang, ada pertigaan, rumahku persis di sebelah kiri dari kedua rumah.
Ngga ada yang istimewa dari rumah-rumah di kampungku. Justru istimewanya, adalah hubungan relasi sosial yang kuat antar tetangga. Waktu tamu datang dan bertanya alamat seseorang, pasti jawabannya, wah saya kenal si A rumahnya di sebelah kanan/kiri jalan gang ke dua.
Tanpa sungkan pasti orang yang ditanya akan menunjukkan rumah orang yang dicari . Loh kok bisa kenal, padahal di era itu belum ada gadget, internet. Rahasianya dilarang ngrumpi sesama tetangga, tapi motonya menjaga kebersamaan. Moto “Lu susah, gua juga ikut susah”.
"Sesama tetangga dilarang tidak kenal. Jika tidak kena, merekal ngga akan diajak outing bersama. Ada perjanjian tidak tertulis dengan para tetangga setiap 2 bulan sekali , kita semua piknik. Ngga perlu jauh-jauh dari Semarang, sekitar l-2 jam, ke Bandungan atau Kopeng.
Begitu sampai di Kopeng, anak-anak yang masih suka bermain segera berlarian di playground, termpat terbuka yang ada ayunan, perosotan., Anak-anak sudah lupa dengan ayah ibunya, mereka meninggalkan orang tuanya.
Para ayah-dan ibu saling ngobrol dan ngrumpi sambil ngrujak atau makanan kecil.
Suasananya santai, rilek dan “healing” banget. Tidak ada permusuhan, persaingan saat kumpul. Anak-anak sebaya pasti ramai berlarian dan saling kejar-kejaran. Teman terdekat adalah tetangga. Baik anak lelaki atau perempuan. Usia mereka semua sebaya dengan diriku.
Sementara aku dengan kakakku memiliki perbedaan usia yang tinggi, 11 tahun. Karakterku paling pendiam, jadi aku sering dipanggil “gong mati” artinya jika tidak ditanya atau diusilin, pasti ngga berbunyi.
Suatu hari, namaku berubah, aku dipanggil nama lengkapku ditambah embel-embel, “Tan Siok Lie” kecil, aku bingung, siapa yang berani manggil nama begitu lengkap ditambah kecil.
Sambil menengok ke kiri ke kanan mencari sumber panggilan, aku baru melihat sosok seorang kakak yang lebih besar. Aku sedikit marah karena dia berani-beraninya merubah namaku.
Melihat aku marah, kakak yang kusebut saja Handoko itu, datang menggandeng tanganku. Dia bercerita panjang kepadaku. Sejarah nama yang baru saja ia lontarkan. Ech, papa dan mamahmu pernah cerita ngga gimana kamu dapat nama itu? Aku cuma menggelengkan kepala, tanda aku tidak pernah mendengar sejarahnya.
Kak Handoko pun bercerita, begini, waktu kamu mau lahir, papi dan mamimu itu bingung setengah mati mencari nama buat bayi perempuan. Mereka tak pernah berpikir ada bayi lagi setelah kakakmu berusia 11 tahun. Bingung cari nama tanya ke tetangga. Loh dulu itu ngga ada embah “google” yang punya solusi cepat, tepat. Jadi solusinya hanya tanya tetangga.
Tetangga yang ditanya itu kebetulan punya tujuh anak, sudah pengalaman sekali dengan nama anak. Selalu nama anak ada tiga karakter. Karater pertama untuk marga, misalnya marga Tan, karakter kedua untuk generasi misalnya generasi ke10 semua harus bernama Kian, dan karakter ketiga untuk nama sendiri misalnya Han, jadi nama lengkapnya adalah Tan Kian Han.
Lalu, aku masih belum puas kenapa namaku di tambah menjadi “kecil”. Dia tertawa keras dan terbahak-bahak. Di tetangga satu RT ini ada dua nama yang sama, Tan Siok Lie. Waktu dia panggil Siok Lie, keduanya langsung menengok. Dia bingung dech kenapa orang tuanya kok kasih nama bisa sama, padahal orang tuanya beda. Terpaksa, dia tambahin nama saja, yang tua dipanggil Siok Lie Besar, dan yang kecil dipanggil Siok Lie kecil.
Wah aku bilang kepada kakak Handoko, kamu harus adakan selamatan untuk merubah namaku yach. Dia terpingkal-pingkal karena merasa dipojokkan.
Soal nama memang bukan hanya sekali ini saja aku bingung.
Ketika ada perintah dari pemerintah untuk mengganti nama bagi WNI keturunan. Usiaku baru menginjak 15 tahun, aku juga bingung mau cari nama Indonesia baru di mana.
Belum ada google nich, aku ngga punya ide yang brilian cari nama yang cantik.
Pengin cari nama bintang film, kok keberatan namanya yach. Baca buku untuk nama-nama kelahiran bayi . Para temanku bingung kenapa aku belum menikah sudah cari nama anak. Kubiarkan kebingungan temanku berlangsung lama. Aku sendiri juga bingung cari nama buat diriku.
Mabuk kepayang untuk menemukan nama yang cocok. Kupikir gampang dech, tapi kalau aku mengambil nama sembarangan, aku takut citra diriku ambruk. Benar-benar pusing banget loh!
Akhirnya,aku dapatkan nama Indonesia yang singkat, Ina. Komentar temanku kok pilih pilih nama Ina. Aku berdebat dengannya, loh kenapa? Dia mengatakan Ina itu singkatan dari Indonesia . Aku terhenyak bagaikan durian runtuh, sudah dapat ide kok diruntuhkan lagi. Aku bilang kepadanya, biarlah nama itu menjadi nama tenar karena setiap orang yangmenyebut Ina akan teringat Indonesia.
Setelah peresmian nama itu di pengadilan, “tok, tok, tok”, nama baruku menjadi Ina Tanaya. Aku mulai mendaftarkan nama baruku di sekolah . Menuliskan nama baru, serasa keren banget . Tapi ketika acara perkenalan di kelas, namaku dipanggil oleh guru, aku terdiam saja. Kedua kali masih terdiam. Ketiga kali, guru dengan suara menggelegar, siapa yang punya nama Ina Tanaya?
Aku baru sadar, oh nama baruku . Aku maju ke depan.
Ibu guru sampai bertanya, kamu melamun? Dengan gugup, aku bilang: “Tidak, hanya lupa nama saya!” Guru terheran-terhan tanpa mengerti, kok bisa anak ini lupa nama sendiri.
Pengalaman yang paling berkesan saat aku masuk ke SMA, aku dijuluki “O Chan”. Menurut teman, nama sesuai dengan karakter “Jepang” dalam diriku. Juga nama belakangku, Tanaya dianggap mirip orang Jepang. Oh, aku baru mengerti aku suka sekali dengan serba serbi Jepang , dari mainan, karakter film Jepang, makanya aku dianggap mereka sebagai “ O Chan”, panggilan kesayangan anak remaja yang dekat dengan ibunya. Aku tersenyum simpul ketika ada teman memanggiku "O Chan". Julukan itu sudah melekat sejak SMP hingga SMA.
Saat pertemuan atau reuni dengan teman-teman SMA, begitu aku datang, mereka sama-sama bersatu padu, berseru, “Ini dia O Chan dari Jepang”.
Wah aku sangat malu, sudah jadi nenek begitu masih dibilang O Chan. Panggilan dan julukan bagaikan menyatu melekat tak pernah hilang
Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!