Sebelum Menikah, Apakah Keputusan Anda Childlessness atau Child free?


 
 
Saya tertarik menuliskan pembicaran antara Kevin dengan Widha , pengelola Kompasiana dalam program A to Z dengan topik Apakah menikah harus punya anak”? 
 
Awalnya Widha membacakan sebuah cuplikan seorang twitter “ Gedein Anak ibu butuh 3milyar, pikirkan sebelum memutuskan menikah!” 
 
Wow, jadi pembicaraan ini tambah seru dan hangat karena ada benang merah , betapa besarnya harga seorang anak saat ini, apakah kamu siap untuk memasuki pernikahan dengan memiliki anak atau tanpa anak? 
 
Di Kompasiana. Menurut Kevin, dia menikah, tak sempat memikirkan apakah harus punya komitmen punyai anak atau tidak? 
 
Itulah yang disebut suatu kebiasaan atau nature dari pernikahan secara umum di Indonesia, menikah pasti nantinya punya anak, membesarkan anak, menyekolahkan , mendidik anak hingga ke perguruan tinggi, lulus, kerja dan menikah. Setelah mentas pun seringkali masih mengurus cucu. 
 
Winda menanyakan Kembali kepada Kevin sebagai lawan bicaranya. “Apakah kamu pernah berpikir apakah enaknya nikah itu punya anak atau tidak? Enaknya punya anak itu apa? 
 
Apa enaknya tidak punya anak itu?  Ketika kita sudah punya anak, kita tidak mampu mendidik dan memberikan moril dan finansial sehingga anak tidak bisa akses ke Pendidikan tinggi, lalu anak bertanya balik atau protes kepada orangtuanya “Mengapa aku dilahirkan dalam kondisi keluarga yang tidak memungkinkan aku bersekolah?: Refleksi kecewa anak itu bisa jadi orangtua tak pernah berpikir tentang betapa besarnya biaya edukasi yang tiap tahun makin lama makin tinggi. Inflasi kenaikan 10%. Adanya pola berpikir pasangan yang akan menikah bahwa anak itu membawa rezekinya masing-masing. 
 
Pola pikir yang sesungguhnya aneh, bukankah yang bekerja adalah orangtua bukan anak, jadi tidak ada kaitan rezeki anak dengan hasil jernih payah orangtua. 
 
Nach, berbeda lagi mereka yang punya pola pikir, apakah manfaat anak? 
 
Ada yang berpikir jika kita punya anak, nanti jika sudah tua, pasti ada yang menjaga, merawat kita. Pola transaksional inilah yang sering jadi pemikiran atau landasan orangtua. 
 
Disamping itu ada yang mengatakan “Sudah menikah yach harus punya anak. Itu adalah budaya kita semua, nanti jika tidak punya anak akan ditanya oleh teman, warga, masyarakat, kapan punya anak?
 
Sebenarnya ada perbedaan mendasar antara childlessness dengan child free. Definisi dari Childesness adalah” the condition of being without children”, it implies that everyone who does not have children would likt to have them. 
 
Artinya karena ada kondisi dimana salah satu pasangan itu tidak subur organ produktivitas, tidak mampu karena sakit mental,
 
Definisi child free adalah “one does not want to have children at all” artinya mereka tidak menginginkan anak sama sekali.
 
 Sebelum menikah baik calon pasangan perempuan dan lelaki telah memikirkan dengan matang bahwa mereka tidak akan mengadopsi anak, atau mereka tidak ingin memiliki anak sendiri karena pemikiran yang sangat fundamental , belum siap jadi orangtua, tidak ingin menelantarkan anak di kemudian hari apabila mereka tidak sanggup untuk membesarkan atau menyekolahkan anaknya. 
 
Child free ini adalah pilihan yang muncul di saat ini. Pembicaraan makin hangat karena ada pemaparan dari Ibu Naftalia seorang psikologis Klinis yang berpraktek di Sidoarjo . Mengapa sampai terjadi pemikiran adanya Childree? 
 
Adanya pergeseran nilai tentang keberadaan anak dalam keluarga. Dulu: anak itu dianggap suatu kebanggaan. Jika ditanya oleh teman atau family: “berapa anaknya? Ada 10, 2 orang jadi Menteri, 8 orang jadi pimpinan perusahaan dan sebagainya. Sekarang : anak dianggap sebagai aset , masa depan yang cerah apabila anak itu bisa sukses dalam sekolah, pekerjaan dan mendapat karir yang menjajikan.
 
 Sebaliknya jika tidak berhasil, maka anak itu dianggap sebagai beban dan orangtua takut apabila nanti tak sanggup menyekolahkan, lalu anak tidak berhasil, dia akan terus menerus mengongkosi anak sampai orangtua meninggal.
 
 Apakah pergeseran nilai itu karena adanya prinsip lain ? Benar, orangtua seringkali mendidik anak dengan tidak sengaja dengan cara transaksional, tidak sukarela bahkan berbicara dengan anak dengan syarat-syarat .transaksional. 
 
Pernahkah mendengar seorang ibu yang berkata kepada anaknya : “Ayo, minum susu dihabiskan. Ibu membeli ini sangat mahal. Ibu harus bekerja hingga malam hari”. Reaksi sang anak terhadap ucapan ibunya, :”Jika begitu, ibu tak usah bekerja sehingga aku juga tak perlu minum susu”. Lebih ekstrimnya,apa yang yang ditanamkan kata-kata ibunya itu dianggapnya bahwa dia harus menghargai apa yang diberikan ibunya dengna nilai uang.
 
 Ketika anak disuruh menulis , anak akan menulis dengan irit kertas supaya tidak membebankan ibunya. Gurunya menegur ibunya kenapa anak itu menulis sangat kecil-kecil dan ibunya juga tidak menyadari itulah refleksi anak terhadap apa yang dikatakan ibunya.
 
Seringkali orangtua terlalu takut kecewa antara harapan dan kenyataan tidak sama. Dia ingin anaknya sukses sebagai dokter, tapi anaknya hanya jadi seniman. Sebaiknya ibu tak mengatakan sedikit-sedikit tentang berapa biaya yang dikeluarkan untuk membesarkan anak dengan maksud anak supaya menghargai apa yang telah dikerjakan ibunya. 
 
Nilai yang ditanamkan anak justru tentang transaksional, segalanya akan dihitung berdasarkan uang. Bagaimana kita bisa mempertimbangkan secara matang apakah kita sudah siap dengan child free?
 
Setiap pasangan yang akan menikah baik itu di gereja atau mesjid , umumnya ada pengantar untuk mempersiapkan diri dengan belajar tentang Kesehatan, finansial dan spiritual. Namun, tak kalah pentingnya para pasangan yang mempertimbangkan untuk child free adalah apakah kita sudah siap secara mental untuk melepaskan diri masa lalu dan berdamai , lalu menapaki hidup dengan nilai baru untuk suatu pernikahan
 
Child free itu adalah pilihan dan tidak ada paksaan sama sekali. Kedua orang harus saling sepakati sejak awal pernikahan, dan tidak menyesal , juga sudah punya jawaban social ketika ada stigma dari warga atau masyarakat kenapa kamu tidak punya anak dan kenapa tidak adaptasi. 
 
Mengenal Parenting Social Responsibility Di Indonesia sama sekali tidak ada program ini. Namun, di German, Amerika, ketika orangtua dianggap tidak layak secara Kesehatan, finansial maka anak itu diambil dari orangtuanya dan menjadi anak negara. 
 
Contohnya, anak balita menangis tak henti-hentinya. Tetangganya melaporkan kepada departemen social . Segera anak itu akan diambil oleh Departemen Sosial untuk bisa dididik oleh mereka. Orangtuanya tidak boleh menuntut.

15 komentar

  1. Makasih Ibuu penjelasannya..
    Memang kadang masih banyak pemikiran2 seperti di atas, yang sering mendengar adalah bahwa anak udah ada rezekinya masing2, realitanya banyak anak terlantar karena pemikiran tsb, hiks. Syedih..

    Semoga saja hal2 kecil perkataan orang tua pada anaknya lebih bijak, agar tak tertanam di bawah alam sadar si anak tsb, dan kelak bakalan teringat terus.

    BalasHapus
  2. Moral story: punya anak itu harus sudah siap dengan keikhlasan. Ikhlas merawat dan membiayai dari kandungan dan melepasnya saat dewasa.

    BalasHapus
  3. saya seperti Kevin, gak pernah berpikir harus mengeluarkan biaya berapaa banyak untuk membesarkan anak
    Karena semua berlangsung alamiah, seperti kebahagiaan emmpunyai anak yang pastinya gak bisa dinilai dengan uang

    BalasHapus
  4. Wah seneng banget aku dapet pengetahuan baru tentang parenting nih bu. Membahas tentang “Childlessness dan Child Free” ini benar-benar menambah wawasan ku. Ternyata di balik “orang tidak mempunyai anak” ada cerita di belakang nya. Terima kasih atas info nyah Bu Ina ;)

    BalasHapus
  5. Wih Jerman keren sekali ya mbak programnya. Tapi di sekitar ku juga ada mbak yang berpikiran seperti itu. Punya anak cuma nambah beban dll. Malah mereka memilih untuk tidak punya anak. walaupun sudah menikah. Katanya mereka gak bisa bebas dll

    BalasHapus
  6. Wah ternyata prinsip setelah menikah untuk tidak mau punya anak ada ceritanya ya..jadi tambah pengetahuan saya..selama ini saya pikir pasangan yg tdk mau pnya anak hanya karena masalah kesehatan saja

    BalasHapus
  7. sebenarnya memang keinginan punya anak atau tidak, itu hak prerogatif setiap pasangan ya bu
    yang penting sama sama bertanggung jawab dengan pilihan yang dibuat

    BalasHapus
  8. Menarik sekali pembahasannya bu. Saya pernah baca jg tentang ini di tirto.

    Saya jg terlahir punya saudara banyak. Keliatan bgt memang pas ditanya anak ke ibu saya, ibu dgn bangganya bilang punya 7 anak yg mentas ke berbagsi kota di Indonesia.

    Karena itu malah saya belum minat utk nambah anak lg. Alasannya seprti di atas, finansial dan jg pertimbangan kondisi saat ini serta kasih sayang nantinya. Moga tdk me jadi org tua yg menjadikan anak sbg aset ya.

    BalasHapus
  9. Kalau menurut daku, besok daku Menikah untuk menjadi keluarga samawa. Walau memang ada juga temen daku yang seperti di artikel itu

    BalasHapus
  10. Tante saya dan suamniya adalah salah satu penganut aliran child free , dari sebelum menikah mereka sudah berkomitmen tidak akan memiliki anak, sebenarnya keduanya tidak ada masalah dengan kesehatan reproduksi, keduanya sekarang sudah sepuh dan tetap bahagia dengan pilihan mereka .

    BalasHapus
  11. Kebanyakan negara maju kebanyakan warganya punya pemikiran seperti ini. Gak mau puny anak dulu.

    BalasHapus
  12. Ini realita yang sering saya lihat sehari-hari aku juga. Dimana org tua (tidak menyelahkan org tua ya) selalu menuntut anaknya ingin jadi A, B, dan C agar kamu nanti bisa melanjutkan keturan A, B, dan C padahal si anak belum tentu mau dan suka dengan apa yg dibilang org tuanya. Si anak dari kecil diajarkan untuk tidak boleh ini tdk boleh itu karena untuk mendapatkan itu semua butuh kerja keras kata orang tuanya. Padahal ya itu kan suda jadi tanggungjawab org tua untuk memberikan itu ke anaknya. Tapi miris saja hal itu diungkit2 sebagai bentuk alibi klo tdk mengikuti perintah org tua akan dicap sebagai anak durhaka. hiks!

    BalasHapus
  13. Di Korea Selatan pun rasanya ada Bu, anak yang akhornya jadi milik negara.

    Hmm pola pikir anak membawa rejekinya masing masing bagi saya sih Bu, masih saya pegang. Dalam makna, rejeki bukan harus selalu berupa uang. Rejeki bisa berupa doa doa kecilnya, keceriaannya. Dan ya ... saya memang dulu berpikir serupa Kevin.

    Kelak anaklah yang akan meneruskan generasi, menjaga pola pikir baik yang orangtuanya titipkan. Eh tapi ini jika orangtuanya mampu secara mental sih ya.

    BalasHapus
  14. Pertama kali dengar istilah ini sekitar 2 tahun lalu dan lumayan kaget ternyata ada pemikiran begini hehe tapi berusaha ssling menghargai saja :') ternyata faktor penyebabnya pergeseran nilai ya

    BalasHapus
  15. child free bisa menjadi lifestyle saat ini sesuai dengan prinsip dan nilai yang diyakini atau dipahami. and its not wrong, setiap pasangan bebas menentukan pilihan. dan ada beberapa pasangan teman saya yang child free, alasannya beragam. yag childness juga ada, karena memang belum dikaruniai anak hingga sekarang. apapun situasinya, pilihan memiliki anak atau tidak ya kembali pada pasangan masing-masing, tapi yang jelas memiliki anak bukan sekedar nilai kebanggaan atau biar banyak rezeki sih, kalau saya pribadi lebih ke nilai sentimentil, buah kasih sayang dan cinta antara saya dan pasangan. jadi, sudah sewajarnya anak menjadi tanggung jawab kami sepenuhnya tanpa meminta "uang" kembali. anak-anak punya garis hidup sendiri, dan tanggung jawab kami sebagai orang tua mendidik, mengarahkan, memfasilitasi dan selalu ada untuk mereka. karena, kami yang menginginkan mereka hadir di dunia ini.

    BalasHapus

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman