Suara alat tenun yang dulunya terdengar iramanya setiap kali penenun bekerja, kini hanya terdengar lirih. Jeritan tangis para penenun yang kehilangan gairah. Setiap benang yang dijalin bukan lagi untuk merajut harapan , tapi untuk bertahan hidup. Wajah-wajah yang dulu penuh senyum, kini memancarkan kelelahan dan keputusasaan. Hasil tenun tak lagi dihargai, proses yang dulu dihormati, kini terasa sia-sia, harapan pun perlahan memudar.
Kampung Ntobo sebuah desa kecil dan lokasinya nun jauh dari kota Bima dan kurang strategis karena lokasinya terpencil, terdapat sebuah tradisi yang sudah berusia ratusan tahun, yaitu menenun Tembe Nggoli, kain khas yang menjadi identitas budaya masyarakat setempat.
Namun, bagi sebagian penenun di desa Ntobo, keterampilan tenun itu bagaikan belenggu hidup . Dengan proses menenun yang panjang mulai dari penggulungan benang, pemisahan benang, memasukkan benang ke sisir tenun, pembentangan, penggulungan benang yang sudah terpasang , pembuatan motif, sampai terakhir proses menenu dengan alat tenun tradisional. Lamanya proses pembuatan dapat dua minggu, sebulan bahkan ada yang sampai setahun tergantung dari kesulitannya. Namun, tragisnya, hasil jerih payah menenun yang panjang itu tak sepadan dengan apa yang dikerjakannya. Hasil tenunan itu diserahkan dan dihargai murah oleh para tengkulak.
Para penenun itu terpaksa terjerat para tengkulak karena mereka tak punya modal untuk beli benang, dan alat-alat menenun, tak mampu akses untuk meminjam modal ke bank. Mereka harus datang ke tengkulak, pinjam uang dengan bunga tinggi. Mengembalikan pinjaman dengan hasil tenun yang dihargai sangat murah.
Para penenun di desa Ntobo itu sudah mati langkah dan menyurutkan langkah dan semangat para penenun untuk melanjutkan bertenun . Di tengah kesulitan ini, muncul sosok penenun bernama ibu bernama Yuyun Ahdiyanti. Dia seorang ibu dengan tiga orang anak yang tak hanya berjuang untuk keluarganya tetapi juga ingin mengubah nasib para penenun di desanya.
Keterbatasan yang memantik perubahan
Yuyun Ahdiyanti, seorang lulusan SMA yang tinggal di desa Ntobo bersama suami dan ketiga anaknya merasa prihatin melihat nasib para penenun di sekitarnya. Sebagai penenun, dia juga merasakan bagaimana para penenun itu sudah bekerja keras mengolah benang dan menenun kain yang indah, namun, tidak mendapatkan imbalan sebanding . Keterbatasan modal dan ketergantungan pada tengkulak membuat para penenun terperangkap dalam siklus kemiskinan. Bahkan, keahlian mereka dalam membuat tenun Tembe Nggoli yang bernilai tinggi , warisan nenek moyang serasa tidak bernilai , tak cukup membawa perubahan dalam hidup mereka.
Namun, Yuyun tak menyerah begitu saja. Dia merasa terpanggil untuk berbuat kecil . Meskipun langkah sekecil apa pun. Dengan tekad yang kuat, ia mulai memasarkan tenunan keluarganya di akun pribadi Facebook. Pada awalnya, dia tak banyak mengharapkan dari langkah kecil ini. Namun, kenyataan sangat berbeda. Sambutan dari para pembeli di luar desa, di luar pulau, jauh melampaui ekspektasi Yuyun. Hasil tenunan yang selama ini dipasarkan melalui tengkulak, kini dapat dijual langsung kepada konsumen dengan harga yang lebih baik. Yuyun pun mulai memasarkan hasil penenun di Ntobo, yang dulunya sulit dijangkau oleh para pembeli, sekarang jauh lebih mudah dengan pemasaran online. Pemasaran lebih lancar dan harganya pun juga lebih tinggi.
Mengubah takdir dengan langkah kecil
Ketika pemasaran online di akunmedia sosial berhasil meningkatkan wisatawan yang datang dan beli produk tenun Tembe Nggoli, dia tak berhenti di situ. Yuyun memberdayakan para penenun dan memasarkan hasilnya melalui online maupun galeri yang disebut dengan “Dina”. Lokasinya di samping rumahnya, luas ruangan 2 x 6 meter. Di Galeri “Dina”, Yuyun memajang hasil tenun khas dari daerah Bima dengan koleksi Sambolo Bima (penutup kepala atau syal khas Bima), kain tenun Bima lainnya.
Tempat inilah jadi bakal cikal untuk mengembangkan Ntobo sebagai “Kampung Tenun” di Bima, sehingga semua koleksi di galerinya fokus pada hasil tenun dari komunitas tersebut.
"Sehelai kain bisa mengubah kehidupan," ungkap Yuyun dengan penuh keyakinan. "Kita bisa membantu penghasilan suami, menambah penghasilan keluarga, sekaligus melestarikan budaya yang sudah diwariskan turun-temurun."
Selain itu Yuyun juga mengadakan workshop bagi para penenun muda untuk belajar cara menenun dengan teknik dalam pewarnaan maupun teknik produksi . Dengan menggandeng kolaborasi dengan universitas lokal dalam pengembangan warna alami berbasis nanopartikel yang cepat dan ramah lingkungan.
Langkah kecil yang dia mulai membawa dampak besar, tidak hanya untuk keluarganya, tetapi juga untuk desa Ntobo secara keseluruhan. Penenun-penenun lain mulai menyadari bahwa mereka juga bisa memperoleh keuntungan lebih baik dengan cara yang lebih mandiri. Yuyun bukan hanya sekadar menenun; dia menenun masa depan yang lebih baik untuk desanya.
Perubahan yang berdampak luas
Dengan semangat juang yang tak kenal lelah, Yuyun terus menginspirasi banyak orang, baik di desanya maupun di luar sana. Keberhasilan Yuyun tak hanya diukur dari peningkatan pendapatan keluarganya, tetapi juga dari dampak positif yang dia bawa ke desa Ntobo.
- Kemandirian ekonomi perempuan penenun
Sekarang, para penenun di desa Ntobo mampu mandiri secara finansial. Hasil dari tenunan dihargai sesuai dengan jenis kesulitan memproduksi kain tenun itu. Mereka bisa bangga dengan jernih payah dan uang yang dihasilkan dapat digunakan untuk membantu suami, punya penghasilan sendiri dan memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
- Pelestari budaya
Sebagai pelestari budaya tenun yang diwariskan oleh nenek moyang, awalnya penenun muda tidak berminat untuk meneruskan pekerjaan sebagai penenun, mereka lebih suka bekerja sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKI). Namun, ketika mereka melihat adanya perubahan penghargaan hasil karya penenun, mereka mulai beralih bekerja sebagai penenun. Bayangkan, apabila tak ada generasi penenun muda, maka warisan budaya tenun Tembe Nggoli akan hilang, punah.
- Identitas kampung
Bagi wisatawan asing atau lokal yang datang ke Kampung Tenun Ntobo sudah sangat mudah karena kampung ini sudah dikenal sebagai kampung penenun di Bima. Meskipun lokasi tak strategis tapi semua warga Bima mengetahui dan dapat mengantarkan tamu-tamu wisatawan domestik dan asing untuk berkunjung ke Galeri “Dina”. Keindahan, keanggunan dan kekayaan tenun Tembe Nggoli dipamerkan dalam display Galeri “Dina”.
- Berdayakan warga sekitar
Bukan hanya penenun saja yang mampu berdaya, tetapi beberapa warga yang bekerja sebagai tukang ojek, makanan, warung membuat ekonomi warga sekitar bergeliat. Mereka bekerja sebagai pendukung kegiatan dari wisata tenun di Kampung Ntobo.
Pengakuan Nasional
Perjuangan dan kegigihan wirausaha sosial Yuyun Ahdiyanti telah membuahkan hasil penghargaan yang sangat tinggi. Pada Oktober 2024, Yuyun telah berhasil menjadi pemenang Semangat Astra Terpadu untuk SATU Indonesia Award ke 15 bidang kewirausahaan yang digelar sejak 2010 dan diikuti oleh 657 peserta seluruh Indonesia.
Yuyun telah berkontribusi dalam pemberdayaan penenun di Bima, mengangkat derajat para penenun, dari langkah kecilnya mampu membangkitkan geliat usaha tenun yang hampir punah, menjadi warisan budaya Indonesia dan identitas kampung.
Ina Tanaya
#anugerahpewartaastra2025 #kabarbaiksatuindonesia
Sumber referensi:
- Dari Keterbatasan Menuju Keberdayaan: Kisah Lahirnya UKM Dina di Kampung Ntobo: https://www.goodnewsfromindonesia.id/2025/10/26/yuyun-ahdiyanti-dari-ntobo-untuk-nusantara-menenun-harapan-lewat-kain-tradisi-bima Yuyun Ahdiyanti,
- Srikandi Pejuang Kampung Kain Tenun Bima Nusa Tenggara Barat: https://www.kompasiana.com/marthauli/672e01ca34777c4ff12dcf13/yuyun-ahdiyanti-srikandi-pejuang-kampung-kain-tenun-bima-nusa-tenggara-barat

Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!