Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia untuk Meningkatkan Intermediasi

Masih ingatkah kita peristiwa tahun 2008 ketika terjadi krisis ekonomi dimulai terjadi di Amerika Serikat dan menyebar ke bagian lain dunia.

Perusahaan keuangan global sekelas Lehman Brothers pun terpaksa gulung tikar . Kasus kebangkrutan perusahaan jasa keuangan global di Amerika Serikat ini terjadi akibat dari Subprime mortgage.

Dimulai dari perbankan Amerika Serikat yang memberikan property loan atau pinjaman properti kepada warga individu maupun perusahaan dengan nilai dari propertinya sudah digelembungkan dari nilai riil (sebenarnya). Ketika peminjam tidak mampu membayar pinjaman kepada perbankan, nilai aset yang dihipotekkan itu nilainya ternyata jauh lebih kecil dari pinjaman .

Akhirnya ketika peminjam tak mampu bayar, aset yang disita ternyata tak senilai dengan pinjaman. Bank pun merugi besar sekali, dan akhirnya kebangkutan dari sejumlah Lembaga peminjaman tak terelakkan. 

Dampak Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika itu bukan hanya dirasakan di Amerika saja, tetapi secara global negara Eropa, Asean dan lain-lainnya juga terdampak juga. Indonesia pun pernah mengalami krisis moneter di Masa Reformasi di tahun 1998. Penyebabnya adalah perubahan fixed exchange rate menjadi floating rate . 

Hal ini menyebabkan balance of payment crisis. Krisis yang ditrigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar. Nilai rupiah terhadap dollar AS sangat melemah mencapai level Rp.16.000 per dollar AS. Dampaknya pada ekonomi sangat mengerikan, harga bahan pokok melesat naik, perusahaan impor bahan baku tak mampu membayar utang karena dollar sangat mahal, penggangguran dan kemiskinan menjulang tinggi. 

Bank Indonesia harus campur tangan dalam menangani banyak kredit macet yang tergabung dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pembelajaran Krisis Keuangan Pembelajaran dari kedua krisis yang berbeda penyebabnya tapi persamaannya adalah keuangan negara terdampak dan bagaimana respon pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap terjadinya krisis multi dimensi di kemudian hari. 

Bank Indonesia selaku Bank Sentral menangani krisis keuangan 1998 dengan melakukan kebijakan makroprudensial. Mitigasi ini sejalan dengan kewenangan Bank Indonesia (BI) dalam aspek makroprudensial, yang bertujuan menjaga dan mengelola risiko krisis sistemik. 

 Mitigasi krisis melalui makroprudensial Bank Indonesia selaku Bank Sentral mulai mengantisipasi krisis keuangan 1997/1998 dengan dimulainya pembentukan Biro Stabilitas Keuangan (BSSK) 

Pada tahun 2007 Bank Indonesia secara aktif melakukan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Sekarang ini ,tugas dan wewenang Bank Indonesia mencakup stabilitasi ekonomi, pengaturan sistem pembayaran, dan penjagaan kebijakan moneter. 

Saat terjadi Covid-19, otoritas dari Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yaitu Bank Indonesia, OJK , LPS dan Kementrian Keuangan (Pemerintah) harus berkoordinasi untuk pemulihan sesuai dengan fungsi dan wewenangnya. Bank Indonesia sesuai dengan UU 2/2020 (PERPPU 1/2020) memiliki 6 kewenangan terkait lengkah pemulihan pandemi Covid-19. 

 Ke-6 wewenang Bank Indonesia itu adalah kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, inflasi, sistem pembayaran , stabilitas rupiah, sistem pembayaran tunai/nontunai. Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia: 

1. Stabilitas SistemKeuangan di Indonesia


Sebelum kita mengetahui siapa saja yang terlibat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia. Kita perlu mengenal tugas, peran dan struktur sistem keuangan di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa Bank Indonesia sebagai superbody yang membawahi semua bank. 


 Ternyata pemahaman itu kurang tepat. Mengenal apa dan siapa Bank Indonesia harus memahami dulu sistem keuangan di Indonesia

 Inilah struktur dari penjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia 
Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia
Mengupas kebijakan Makroprudensial . Sumber: Bank Indonesia


1. Sektor Keuangan: Bank, maupun non Bank , dibawah pengawasan dari OJK dan LPS 
2. Infrastruktur Sistem Keuangan: Korporasi (perusahaan besar , menengah), Rumah Tangga 
3. Mikroekonomi (Sektor Riil) : Korporasi dan rumah tangga yang langsung ditangani oleh Pemerintah 

Dalam makro ekonomi global, ada hubungan internasional yang terdiri dari fiskal dan moneter. Peran BI sebagai otoritas kebijakan Moneter , makroprudensial dan sistem pembayaran (infrastruktur sistem keuangan) dan intermediary dari semua sistem keuangan . Peran Pemerintah atau Kementrian Keuangan sebagai otoritas kebijakan fiskal untuk mengelola keuangan negara, pembiayaan pembangunan, perpajakan dan utang pemerintah.

Kementrian Keuangan juga melakukan kebijakan makroekonomi yang berkaitan dengan sendi-sendi perekonomian di bidang infrastruktur dan sektor riil. Peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah perlindungan konsumen dalam sistem keuangan. OJK menerapkan aturan-aturan prudensial dengan tujuan menjaga kesehatan individual instutisi keuangan dan memastikan kode etik dilakukan. 

OJK memastikan institusi menjaga kelangsungan usaha dan mengelola risiko, Kesehatan institusi faktor penentu stabilitas keuangan. 

Lembaga Penjamin Nasional (LPS) memberikan jaminan atas kemapanan nasabah dalam bank. LPS mengumpulan iuran premi dari bank dan menggunakan iuran premi dari bank saat membayar simpanan nasabah bank yang mengalami gagal bayar. 

 Semua Lembaga seperti Bank Indonesia, OJK, LPS, Pemerintah itu menjadi satu bagian dalam KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) Mereka saling tukar informasi mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam rapat-rapat rutin. Sesuai dengan kewenangan sebagai otoritas keuangan, mereka harus punya agenda untuk tetap menjaga stabilitas keuangan. 

 Di sini terlihat sangat jelas peran masing-masing lembaga dan otoritas keuangan dari masing-masing stakeholder berbeda tetapi punya tujuan sama untuk stabilitas sistem keuangan.

 2. Mitigasi krisis sistemik


 Di atas telah dijelaskan kebijakan makroprudensial sangat penting dalam mitigasi risiko terjadinya krisis sistemik. Kata sistemik diambil dari Wikipedia artinya system. Sistemik juga berasal dari Yunani (Sustema),artinya kesatuan yang terdiri dari atas komponen atau elemen bekerja sama untuk mencapai tujuan. 

Contohnya Bank Century yang merupakan bank yang gagal bayar Hal ini akan menimbulkan masalah terhadap semua perbankan yang merupakan kesatuan komponen ikut terlibat kegagalan dan kerusakan sistem keuangan itu. Dampak berikutnya adalah hilangnya kepercayaan publik dan menimbulkan ketidakpastian keuangan dan akhirnya akan mengganggu perekonomian.

Bank Indonesia mengimplementasikan kebijakan makroprudensial . Kebijakan yang bertujuan membatasi risiko biaya dan krisis sistemik. Menurut ESRB, Badan yang mengawasi sistem Keuangan Eropa mengatakan makroprudensial itu adalah mengurangi penumpukan risiko sistemik dan memastikan pertumbuhan ekonomi. 

Prinsip kehati-hatikan untuk menjaga keseimbangan dengan tujuan makro ekonomi supaya stabilitas sistem keuangan,nilai tukar, sentimen negatif terhadap arus modal tetap terjaga.

Disinilah peran Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan Moneter , makroprudensial dan system pembayaran (infrastruktur system keuangan) dan intermediary dari semua sistem keuangan .

 Makroprudensial tingkatkan intermediary dalam mencegah dan menangani krisis:


Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia
Mengupas Kebijakan Makroprudensial - Bank Indonesia

Protokol Manajemen Krisis (PMK) sebagai protocol yang digunakan untuk mengelola dan mengatasi kondisi krisis. Adanya aturan-aturan, sistem dan prosedur yang benar harus dijalankan dalam situasi formal. 

PMK sebagai alat ampuh untuk atasi dan upaya penyelesaikan krisis. Alasannya karena dengan PMK, para otoritas keuanganan itu akan bereaksi dan ambil langkah terkoordinasi mengatasi krisis dalam waktu cepat. 

Begitu menerima adanya informasi kondisi keuangan suatu instutisi yang diduga sedang menuju krisis, maka segera “senjata” PMK pun dapat digunakan. PMK mengidentifikasi risiko global terdiri dari pasar keuangan dan ekonomi makro, Risiko domestik terdiri dari pasar dan institusi keuangan dan ekonomi makro. PMK mengidentifikasi kerentanan eksternal, pasar dan insitusi keuangan, ekonomi makro, juga tingkat tekanan normal atau ditengarai krisis. 

Ketika ditengarai krisis, maka harus direspon kebijakan, monitoring, pencegahan krisis di tingkat Lembaga, dan resolusi/penanganan krisis. Jelas bahwa penanganan krisis bukan hanya dilakukan satu Lembaga misalnya Bank Indonesia saja. 

 Tetapi Bank Indonesia sebagai intermediary melakukan koordinasi antarlembaga anggota KSSK dalam pencegahan maupun penangaan krisis . Krisis yang datang sepanjang waktu, krisis berbagai macam di perbankan, utang negara berkembang , gagal bayar utang pemerintah atau utang sektor publik, nilai mata uang yang terlalu tinggi, risiko keuangan dan politik negara. 

Koordinasi antar Lembaga itu juga sangat penting dalam meminimalisir dampak negatif kebijakan (policy trade off). Krisis kelihatannya hanya kena satu pihak saja, misalnya sektor asuransi yang sedang bermasalah .

 Ternyata, dalam jangka panjang, masalah itu berkaitan dengan sektor yang lainnya juga akan ikut berdampak. Apa peran kita dalam membantu Bank Indonesia sebagai intermediary


3.  Peran warga dalam makroprudensial

Kita semua adalah bagian mikroekonomi, rumah tangga. Baik kita sebagai ibu rumah tangga, ayah yang bekerja, maupun sebagai anak yang belajar/kuliah. Dengan berbagai peran itu, kita bisa membantu Pemerintah/Bank Indonesia agar kita tetap bersikap tenang dan tidak melakukan panic buying atau panic withdrawal saat mendengar adanya rumor kegagalan suatu usaha atau bank. 

Dengan penarikan uang secara berlebihan oleh semua nasabaha, maka bank yang seharusnya masih dapat diselamatkan itu, justru akan bankrut dan hancur karena likuiditasnya disedot oleh semua nasabah.bank yang bersangkutan.

 Demikian juga untuk berutang baik itu di Lembaga keuangan bank maupun non bank ,Financial Technlogy (Fintech), kita perlu mempertimbangkan perlu tidaknya berutang, apakah itu keinginan atau kebutuhan. Apabila kita tidak mempertimbangkan neraca keuangan rumah tangga, hanya keinginan untuk memenuhi hasrat terus berutang, maka saat kita tidak mampu membayar utang di bank atau fintech . 

 Akibatnya, bank atau fintech yang punya NPL (Non Performing Loan) membengkak besar karena nasabah tidak membayar utang . Besarnya utang yang ditanggung bank atau Fintech menggerus modal kerja bank dan keuntungan. Apabila modalnya sampai diambang batas kehancuran (rasio NPL untuk bank sehat adalah dibawah 5), maka Fintech atau bank itu akan hancur. 

Hancurnya satu dari elemen dari infrastruktur sistem keuangan, akan menggoncang Lembaga keuangan yang lainnya. Oleh karena itu ayo kita semua bergandeng tangan untuk membantu kebijakan makroprudensial ini tetap terjaga dalam stabilitas sistim keuangan Indonesia.

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman