Cagar Budaya bukan sekedar tempat wisata budaya. Kekayaan khasanan Cagar Budaya Nasional, Dieng memberikan identitas budaya bangsa pada zamannya. Bila cagar budaya itu tak dilestarikan oleh generasi penerus, rusak dan punahlah sumber warisan budaya yang berharga. Tak ada lagi sumber kekayaan budaya sebagai pengembangan pengetahuan budaya, pendidikan, sejarah.
Mendengar kata “Dieng”, ingatan saya langsung kembali ke masa tiga tahun lalu. Kami , keluarga besar berkumpul untuk reuni keluarga karena ada salah satu sepupu kami yang mantu di Purwokerto. Setelah menghadiri acara mantu, tentunya ada waktu luang. Waktu luang ini ingin kami manfaatkan.
“Dieng” dalam Bahasa asing dikenal dengan sebutan “Dieng Plateu”, sebuah kawasan vulkanik aktif di Jawa Tengah, masuk dalam wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara.
Menurut sejarahnya, kata Dieng adalah gabungan dari dua kata Bahasa Kawi: “di” artinya “tempat” atau “gunung” dan “hyang” bermakna “dewa”. Jadi Dieng itu berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam.
Salah satu tempat wisata yang dekat dekat dengan kota Purwokerto adalah “Dieng”. Begitu mendengar Dieng, saya hanya bisa mengingat samar-samar tentang Dieng. Pertama kali ke Dieng ketika masih sangat kecil berusia 5 tahun.
Jika ditanya apa yang diingat, pasti tak ingat semuanya, hanya tempatnya dingin dan ada danau-danau dari kejauhan.
Ternyata ketika saya menginjak kedua kalinya di Dieng pada bulan Agustus 2017, apa yang saya pikirkan dan gambarkan tentang Dieng, telah berubah total.
Sebelum ke Dieng kami mengunjungi Lubang Sewu Wadaslintang. Lalu kami makan siang di Wonosobo pada sekitar jam 14.00 . Begitu mendengar bahwa kabut akan turun apabila kami sampai di sana terlalu sore, maka secepatnya kami beranjak menuju ke Dieng.
Jalur Wonosobo ke Dieng jadi jalur favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Alasannya karena jarak jauh lebih cepat dibandingkan jika akses melalui Banjarnegara. Jarak tempuh Purwokerto ke Dieng dengan mobil 120 km sekitar 3 jam.
Ketika memasuki kawasan Dieng, mulailah jalan menanjak tinggi, jalannya sempit, berkelak-kelok. Udara dingin langsung menyusup ke dalam tulang dan kulit. Udara segar, ditambah dengan pemandangan nan elok di sepanjang jalan kanan dan kiri terlihatlah hamparan perkebunan sayuran dan buah-buahan, dan bunga.
Kebun sayuran milik pribadi, warga. Sawah, alam pedesaan, perkebunan bunga membuat semakin indahnya alam pedesaan yang dilalui. Keasrian dan dinginnya udara sangat menarik dinikmati .
Tak terasa perjalanan pun l l/2 jam telah sampai.
Telaga Warna. Sumber: dokpri |
Telaga Warna Dieng, Sumber: Dokpri |
Tempat yang pertama kami kunjungi adalah Telaga Warna. Sayangnya, ketika kami berkunjung, telaga sedang kering dan warnanya hanya kehijauan (bukan tiga warna seperti yang sering disebutkan).
Kawah Sikidang. Sumber; Dokpri |
Tempat kedua yang kami kunjungi adalah Kawah Sikidang. Dikenal dengan kawah yang mengandung belerang dan gas CO2.
Candi Arjuna. Sumber: dokpri |
Tempat ketiga adalah candi-candi yang disebut dengan Kompleks Candi Arjuna, berdekatan dengan Candi Gatotkaca dan candi Bima.
Ketika kami tiba di Sikidang, kami membeli tiket terusan Sikidang ke kawasan Percandian Dieng .
Candi Arjuna Merupakan Warisan Budaya :
Kompleks Candi Dieng zaman Belanda.Sumber: Kebudayaan.Kemendikbud.go.id |
Awalnya saya bingung dengan nama-nama candi di kawasan Dieng yang menggunakan nama wayang? Apa latar belakangnya?
Beruntung saya mendapatkan brosur yang cukup lengkap sejarah tentang Candi-candi di kawasan Dieng.
Sejarah Percandian Dieng dimulai dari penemuan percandian Dieng oleh Thedorf Van Elf, seorang tentara Inggris di tahun 1814. Beliau ingin berwisata di kawasan Dieng. Tanpa disengaja, beliau melihat sekumpulan candi yang terendam dalam air telaga.
Dengan inisiatif untuk penyelamatan, pada tahun 1856, dilakukan pengerukan dan pengeringan di area sekitar candi tersebut dibawah pimpinan oleh H.C Cornellius.
Ternyata ditemukan beberapa candi yang bertebaran di beberapa tempat.
Penyelamatan dilanjutkan oleh seorang tentara Belanda , J. Van Kinsbergen pada tahun 1864. Beliau mengadakan pencatatan dan pengambilan gambar.
Pembangunan pun dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama pembangunan Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Gatutkaca di sekitar abad ke-7 sampai abad ke-8. Tahap kedua merupakan kelanjutan pembangunan tahap pertama sampai 780 M.
Prastasi Berangka 808 M. Sumber: Kebudayaan.kemendikbud.go.id |
Cerita pembangunan Candi Dieng ini ditemukan dalam prasasti berangka tahun 808 M berhuruf Jawa Kuno. Selain itu juga ditemukan Arca Syiwa yang dibawa ke Museum Nasional, Jakarta.
Candi-candi peninggalan di kawasan Dieng itu menjadi warisan budaya.
Para ilmuwan menyimpulkan bahwa kawasan candi-candi Dieng itu dibangun atas perintah raja-raja Wangsa Sanjaya yang beraliran hindu.
Luas keseluruhan kompleks Candi Dieng sekitar 1.8 x 0.8 km2. Terdiri dari 3 kelompok berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabrata. Ketiga kelompok itu adalah Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan satu candi sendiri Candi Bima.
Saat saya mengunjungi candi-candi di kawasan Dieng, masuk pertama adalah Candi Arjuna. Ada pemasangan tali-tali dan tanda larangan memasuki area dalam Candi. Di sekitar Candi Arjuna terdapat kayu-kayu yang disusun tinggi untuk tangga perbaikan candi.
Kami, sebagai pengunjung hanya dapat menikmati candi Arjuna dan semua candi dari luar saja.
Memang kondisinya beberapa candi yang belum tersentuh pembenahan atau renovasi, terlihat memprihatinkan. Kelihatan seperti berjamur batu-batunya, dan ada batu yang terlepas dari tempat aslinya.
Candi Sebagai Cagar Budaya :
Candi Arjuna Dieng. Sumber: Dokpri |
Candi adalah termasuk dalam benda cagar budaya yang tidak bergerak. Semua cagar budaya baik itu bergerak (keris, angklung) maupun tidak bergerak(gedung, candi, rumah adat,tarian) harus dilestarikan dan dilindungi .
Penting sekali untuk melestarikan cagar budaya karena memiliki nilai sangat berharga baik sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan melalui proses penetapan.
Bayangkan, jika kita tak punya harta warisan budaya untuk anak, cucu-cucu kita, lalu apa yang akan kita wariskan kepada mereka.
Mereka hanya mengetahui dunia masa kini, dan masa depan. Padahal cagar budaya itu yang semakin lama itu akan menjadi semakin tinggi nilai sejarahnya.
Peradaban manusia modern dibangun berasal dari peradaban budaya masa lalu. Kita perlu mengenal siapa nenek moyang kita dengan segala warisannya. Filosofi hidupnya dan candi-candi itu salah satu dari cara mempelajari kepribadian identitas dan manifestasi suatu bangsa sehingga dapat meningkatkan harkat dan martabatnya.
Mengingat pentingnya cagar budaya baik bergerak maupun tidak bergerak, Pemerintah bersama DPR telah membuat Undang Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Isinya adalah Cagar Budaya yang merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu penetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Zonasi Kawasan Cagar Budaya:
Nach, setelah adanya landasan hukum itu, kawasan Percandian Dieng yang merupakan kawasan kaya akan peninggalan cagar budaya itu harus secepatnya dilestarikan sebelum punah karena terkikis oleh kehancuran akibat kerusakan alam.
Segera ditetapkanlah Kawasan Percandian Dieng jadi Kawasan Cagar Budaya Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dengan Nomor 007/M/2017.
Setelah ditetapkan jadi Kawasan Cagar Budaya, langkah berikutnya adalah membuat zonasi dari kawasan cagar tersebut. Tujuan dari zonasi adalah rambu-rambu untuk upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan Cagar Budaya.
Kegiatan terkait zonasi Kawasan Cagar Budaya Dieng itu dengan melakukan kajian zonasi Kawasan Cagar Budaya Nasional.
Tujuan zonasi kali ini adalah menganalisa terhadap ruang perlindungan, konfigurasi jumlah dan penempatan zona Cagar Budaya Dieng. Kegiatan zonasi telah dilakukan pada tanggal 1-7 September 2020 oleh Badan Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, bekerja sama dengan Dinas Pariwsata dan Kebudayaan Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara.
Bagaimana para milineal dan kaum muda berkontribusi untuk melestarikan Cagar Budaya Dieng?
Seandainya kita jadi wisatawan domestik, berkunjung ke kawasan Percandian Dieng, bagaimana kita bisa berkontribusi untuk melestarikan dan melindungi cagar budaya .
Tentunya kita memiliki kontribusi dengan tidak merusak tetapi tetap menjaga bersih sekitar Candi Dieng ketika berkunjung di Kawasan Percandian Dieng.
Selain tidak merusak, mulai dari sekarang kita sudah mulai belajar memahami sejarah pembuatan percandian Dieng yang telah cukup tua itu. Lalu, setelah memahami, kita sebagai ilmuwan atau warga yang punya profesi sebagai budayawan, arkeolog atau geologi, membuka diri untuk menyampaikan saran, rekomendasi, urun rembuk tata cara melestarikan dan melindungi candi-candi itu dari segi ilmu yang dimiliki.
Tentu tak ada salahnya bagi kamu yang tak punya ilmu di atas, turut membantu pemerintah untuk menyebarkan kepada teman-temanmu agar menghormati, menjaga dan melindungi cagar budaya itu.
Jangan sekali-kali merusaknya dengan menggunakan sebagai tempat selfie, wefie atau mencoret-coret dengan benda cat dan lainnya yang merusak batuan candi .
Diharapkan harta warisan yang berupa Percandian Kawasan Dieng itu dapat diselamatkan dari kepunahan, apabila kita semua ikut berperan serta untuk menyelamatkannya.
Sumber referensi:
- "Zonasi Kawasan Percandian Dieng, Sebuah Upaya Perlindungan Cagar Budaya": Direktorat Perlindungan Kebudayaan .
- "Cagar Budaya Perlu Dilestarikan" : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
- "Kompleks Candi Dieng" : Wikipedia
Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!