Mengapa Aku Harus Menulis?


 "Menulis Bukan Sekedar Tempat Pelampiasan Jiwa.  Awal kerinduan menulis, itulah penemuan menulis sebagai passion".


Tak pernah terbayangkan sebelumya jika akhirnya aku punya panggilan jiwa untuk menulis setiap hari untuk merangkai kata demi kata menjadi suatu untaian cerita. Kerinduan untuk bisa menuangkan apa yang ada dalam otakku tanpa harus menunggu.

Dunia menulis bukan pilihan hidupku sejak kecil. Aku begitu cinta membaca ketimbang menulis. Buku-buku jadi bacaan yang menyenangkan. Dengan bacaan yang kubeli tiap minggu, aku bisa berdiam diri berjam-jam di ruang privatku tanpa ingin diganggu.

Namun, tidak dengan menulis. Apabila ada pekerjaan rumah mengarang, aku akan mengerjakan tanpa sepenuh hati. Cukup ditulis tanpa makna. Cukup kata-kata yang mengalir tanpa kedalaman nilai . Tugas mengarang jadi tanggung jawab yang berat dan malas mengerjakannya.

Dalam kesadaranku , ketika aku masih kecil, menulis adalah pelajaran yang membosankan. Belajar sastra dengan guru yang tak punya pola mengajar yang menyenangkan, dan angkaku selalu jelek, membuat pelajaran mengarang jadi momok. 

Namun, siapa bisa mengelak bila suatu perjalanan hidup itu ternyata berubah tanpa dapat dielakkan. Ketika aku harus pensiun dini, duniaku terasa hampa. Kehilangan pekerjaan yang telah ditekuni hampir 28 tahun serasa mengagetkan. Aku merasa tak memiliki apa-apa dalam diriku. Diriku seperti tak ada nilainya. Kekosongan dan hampa melanda dalam diriku. 

Ketrampilan memang dipersiapkan untuk pensiun dini. Tapi tidak ada satupun yang memiliki daya tarik untuk jadi “passion”. Setiap kali mencoba beberapa ketrampilan seperti marketing digital, dunia sport, dunia bisnis digital yang lainnya, selalu tak mampu bertahan lama. 

Suatu ketika aku diajak oleh seorang teman yang berasal dari komunitas penulis. Komunitas penulis yang sebenarnya bagian dari suatu penulis-penulis blogger di platform Kompasiana. Mendengar kata “Kompasiana”, aku sudah merasa “minder” karena aku tak memiliki literasi menulis dengan baik dan tepat. Tetapi, aku memberanikan diri untuk ikut workshop tentang penulisan itu.

Di situlah titik awal ketertarikanku, aku memahami bahwa menulis itu bukan untuk diriku sendiri. Konten, gaya Bahasa menulis dan cara menulis yang sangat efektif menentukan arah dari tulisan seorang penulis. 

Langkah kecil ini menuntun diriku untuk menapak ke langkah berikutnya. Mempelajari teori dan praktek dari “creative writing” dari seorang penulis buku terkenal, bahkan mengikuti beberapa webinar dari orang-orang yang sudah mumpuni dalam lomba penulisan jadi satu-satunya cara untuk tetap menulis. 

Kegagalan demi kegagalan ketika mengikuti beberapa lomba penulisan blog. Blog jadi ajang saya mempratekkan menulis sekaligus ajang mengukur kemampuan menulis dengan ikut lomba. 

Dari ratusan lomba itu hanya satu atau dua lomba yang berhasil dimenangkan. Prestasi yang pertama kali saat saya menang dalam Karya Tulis Terbaik I Kategori Umum Festival Jurnalistik Tangsel. Menyusul Pemenang Harapan pada Lomba Blog Pendidikan Keluarga Tahun 2018 diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 Apakah saya sudah puas dengan keberhasilan itu? Belum, banyak yang belum saya capai ketika saya belum bisa menulis opini, jurnalistik popular , fiksi atau cerpen dengan optimal. 

Pembaca saya masih belum dapat menilai tulisan saya cukup mumpuni untuk jenis-jenis tulisan di atas. Saya perlu belajar dan belajar lagi . Menggali dan mempraktekan kemampuan menulis memang tak pernah berhenti. 

Semoga saya masih diberikan kesempatan untuk Pelatihan bekal menulis. Sebuah tulisan adalah media pembelajaran, sarana mengajak kebaikan dan edukasi.

 “Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Catatan Pringadi bekerja sama dengan Tempo Institute”.

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman