Warisan Budaya yang Harus Kita Rawat atau Musnah Jika Dibiarkan


Kota kelahiranku Semarang itu dikenal dengan nama “kota lumpia”. Aku telah meninggalkan kotaku hampir 40 tahun yang lalu. Banyak kenangan indah maupun sedih yang tertanam dalam sanubariku, kota yang punya banyak tempat kenangan masa kecil. Di antara nya adalah  kota pecinan, kota tua dengan bangunan kuno peninggalan zaman belanda seperti Gereja Blenduk, Lawang Sewu, sepanjang jalan Letjen Suprapto ada rumah-rumah tua dengan arsitektur dari Belanda .

 Saat aku di Semarang, semua peninggalan zaman kuno atau disebut dengan cagar budaya itu hampir tak pernah tersentuh dengan baik oleh Pemda maupun swasta. Seolah-olah semua stakeholder berdiam diri karena menganggap bahwa merawat peninggalan kuno itu perlu biaya besar dan jika harus memugar, tentu harus punya dana yang cukup besar. Beberapa tahun cagar budaya itu seperti tidak ada kehidupan sama sekali.

 Aku ingat betul, tiap kali melewati bangunan kuno itu aku merasa bergidik takut melihatnya karena kumuh dan tidak ada ada keinginan untuk mampir melihat , mengamati atau mempelajari . Lebih baik kulewatkan saja untuk melihat tempat lain yang lebih indah. 

Namun, ketika beberapa bulan yang lalu, aku sedang menunggu di peron kereta api, ada seorang ibu dan anaknya bercakap-cakap dengan diriku. 
Aku bertanya kepada seorang ibu yang duduk disampingku : “Ibu mau kemana?” 
Dijawab oleh ibu Ani (bukan nama sebenarnya): " Kami akan ke Semarang".
 “Loh ibu orang Semarang?” tanya saya.

 Timbul rasa kangen saya kepada kota kelahiranku. 
 Ibu Ani  balik bertanya kepada saya: “Adik mau kemana?"
 “Saya mau ke Cirebon, saya jadi kangen Semarang. Bagaimana kota Semarang Bu?”

 Anaknya, seorang pemuda gagah, anak milenial segera menjelaskan dengan semangat, Semarang sekarang sudah punya ikon kota wisata yang patut dibanggakan. Kota Lama yang ada di jalan Let.Jen. Suprapto, itu menyenangkan sekali buat jalan-jalan di malam hari, mengenang kembali sejarah penjajahan Belanda dan historis rumah-rumah kuno peninggalan Belanda yang kokoh dengan segala peninggalannya.

 Apalagi itu Lawang Sewu, dulu khan mengerikan, tidak ada seorang pun mau ke sana. Sekarang jadi objek wisata bagi tiap turis setiap kali ke kota Semarang, pasti mampir ke Lawang Sewu. 
Spiegel   Sumber:  vegaviditama

Kota Tua Semarang   Sumber:  Travel Tempo Co

Aku tertegun lama sekali. Oh ternyata ada banyak perubahan dari cagar budaya yang kuno dan dianggap tak bermanfaat itu menjadi suatu manfaat bagi wisata secara ekonomi maupun pendidikan dan pengajaran tentang sejarah kota tua dan Lawang Sewu

Rasa kagum, ingin tahu dan penasaran pun menggelayut dalam diriku. Pulang dari luar kota, segera aku mengecek kebenaran bahwa kota Semarang yang punya ikon Kota Tua itu memang benar-benar telah berubah. Begitu melihat di pelbagai situs wisata Semarang, aku memang terkejut dan terpana bahwa kota tua yang seperti hantu itu telah berubah total.
Kota Tua , Semarang    Sumber:  yukpiknik.com

 Kota Lama itu menjadi warisan budaya , pusat perdagangan pada abad 19-20. Untuk mengamankan warga dan wilayahnya, kawasan itu dibangun benteng, yang dinamakan benteng Vijhoek. Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang di benteng itu dibuat jalan-jalan yang berhubungan dengan jalan utama, jalan itu dinamai Heeren Straat sekarang dinamakan Jl.Let.Jen. Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok , dulu disebut De Zuider Por. 
Gereja Blenduk    Sumber:  patainanews

Kota lama Semarang disebut Outstand, luasnya 31 hektare, terkenal dengan julukan “Little Netherland”. Merupakan saksi sejarah Indonesia masa kolonial . 50 bangunan kuno masih berdiri dengan kokoh. Karakter bangunan mengikuti bangunan di benua Eropa sekitar tahun 1700-an 

Lawang Sewu, yang dulu kukenal sebagai tempat yang menakutkan, ternyata berubah jadi tempat wisata yang dikunjungi oleh setiap wisatawan. Sejarah dari Lawang Sewu membuat diriku jadi tertarik untuk mempelajarinya. Lawang Sewu mulai dibangun oleh Belanda pada 27 Februari 1904 dan selesai tahun 1907. Awalnya, gedung ini berfungsi sebagai kantor pusat perusahaan kereta api milik Belanda dengan nama Nederland Indische Spoorweg Maatschappy disingkat NIS. Rancangan bangunan ini dibuat oleh Prof Jacob F. Klinkhamer dan B.J. Quendag yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh gambar dan cetak biru Lawang Sewu tertulis sebagai site plan dan denah di gambar pada tahun 1903. 

Begitu lengkap pengetahuan saya tentang beberapa kota tua yang ada di kota kelahiranku. Aku sungguh bangga bahwa kota tua ini tidak diambrukan atau dibiarkan mati tanpa direvitalisasi. Sebagai generasi penerus tentunya cagar budaya ini perlu terus dikembangkan dengan menjaga , melestarikan dan tidak mengotori tempat-tempat bersejarah ini karena sekarang ini banyak wisatawan berkunjung khususnya untuk berselfie atau berwefie, tapi mereka lupa menjaga dan menjunjung tinggi peninggalan kuno yang bersejarah dan mereka harusnya datang dengan guide karena banyak pengetahuan yang dapat digali atau dipelajari baik untuk pendidikan maupun untuk explorasi sejarah lebih mendalam. 

Yang disebut dengan cagar budaya adalah bangunan, candi, situs sejarah, situs purbakala, situs umum lainnya yang punya nilai sejarah, umur, keaslian, kelangkaan, tengeran, arsitektur Jumlah cagar budaya di Indonesia tersebar di seluruh pelosok Indonesia ini harus dilaporkan oleh instansi terkait di daerah masing-masing. Jumlahnya hingga Juli 2017, tercatat ada 26.953 Cagar Budaya.

 Agar ada dokumentasi, dan untuk memudahkan dibuatlah sistem informasi Registrasi Nasional oleh Direktorat Cagar Budaya dan Pemuseuman.

 Masyarakat yang ingin mendokumentasikan cagar budaya yang baru atau yang rusak laman websitenya.



Kenapa Cagar Budaya ini penting dilestarikan?

Cagar budaya ini penting untuk dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan melalui proses penetapan. Ketentuan tentang Cagar Budaya ini telah ditetapkan dalam Undang Undang Republik Indonesia No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya Pasal 1 seperti tercantum di atas. 

Siapa saja yang harus melakukan pelestarian? 

Sesuai dengan Undang Undang 11 tentang Cagar Budaya, setiap orang berhak memiliki benda /penghuni/pengelola bangunan cagar Budaya dengan memperhatikan fungsi sosial dan tidak bertentangan dengan Undang Undang. Namun, pemilik atau pengelola bangunan itu harus merawat dengan baik, Jika terjadi kerusakan baik ringan atau berat, mereka diwajibkan untuk memulihkan keadaan seperti semula. 

Jika mereka tidak memulihkan lingkungan dan bangunan seperti semula, maka ada sanksi yaitu tidak akan diterbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) . Bangunan yang dipulihkan akan memiliki Golongan sama seperti semula
GBIP  Pniel    Sumber:   pinterest.com

Namun untuk kawasan cagar budaya sesuai pasal 13, ditentukan bahwa Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Negara . 
Contohnya: Di Jakarta, terdapat kawasan dan bangunan 
• Cagar Budaya: Tugu, Kecamatan Koja, Jakarta Utara
• Kawasan Glodok 
• Kawasan Jakarta Kota, Jakarta Baat dan daerah sekitar Pasar Ikan Jakarta Utara
• Kawasan Pulau Onrust, Pulau Cipir, Pulau Kelor, Pulau Bidadari 
• Kawasan Kebayoran Baru dengan batasnya sisi utara Tanah Abang, barat: Kecamatan Kebayoran Lama, timur: Kecamatan, Mampang, Selatan: Cilandak
 • Gereja GBIP Pniel (Ayam), Jalan H. Samanhudi 

Ketentuan Pelestarian Lingkungan Cagar Budaya: 

Untuk menentukan apakah cagar budaya itu perlu dilestarikan, dipugar atau direnovasi, harus dimasukkan dalam kriteria Golongan I, Golongan II dan Golongan III. Prinsipnya Golongan I itu untuk menentukan perbaikan kondisi fisik yang harus sesuai dengan kondisi semula. Golongan II menata saja, jika ada sedikit kerusakan, maka harus ditata tanpa merubah fungsinya . Golongan III penataan sesuai dengan rencana kota tanpa mengurangi keasliannya. 

Penentuan golongan pelestarian itu dilakukan oleh Tim Ahli Cagar Budaya yang memiliki Sertifikat Kompetensi untuk memberikan rekomendasi, penetapan, pemeringkatan, penghapusan cagar budaya. Juga oleh Tim Ahli Cagar Budaya dan Bangunan Cagar Budaya yang masing-masing punya keahlian teknis dalam pembongkaran gedung, dan keahlian khusus untuk bidang perlindungan, pengembangan, pemanfaat bangunan gedung cagar budaya.

 Cara melestarikannya jika kita seorang individu dengan melindungi, menjaga, merenovasi sesuai aslinya dan memanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Dengan melestarikan berarti kita memperpanjang usia dari bangunan itu. Pelestarian adalah upaya untuk mempertahankan cagar budaya dari kerusakan baik oleh manusia maupun alam. 

Mari kita semua ikut terlibat berpartisipasi aktif dalam pelestarian Cagar Budaya , karena jika kita tidak berpartisipasi maka cagar budaya itu akan punah dan kita tidak memiliki budaya yang membuat kita bisa mengenal sejarah peradaban manusia dari zaman dulu hingga sekarang ini. 



 Referensi: 
  •  Undang Undang nO.11 Tahun 2019 tentang Cagar Budaya 
  •  Wikipedia
  •  Rangkuman Regulasi tentang Bangunan Cagar Budaya

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman