Semakin Kangen Untuk Menulis di Kompasiana



Memasuki dunia blogging ketika saya mulai menulis di blog pribadi sekitar tahun 2009. Sayangnya penulisan saya di blog pribadi kurang berkembang karena interaksi dengan pembaca kurang dan gaya dan konten penulisan belum tingkat yang tinggi. 

 Konten dan tema yang saya angkat dalam tulisan hanya berkisar dunia parenting yang umumnya sudah pernah dibahas oleh pakarnya. Kurang menarik gaya bahasanya. Tak ada pembaca yang bisa berinteraksi . 

Beruntung sebelum putus asa, saya menemukan Kompasiana di tahun 2012 untuk pertama kalinya . Seorang teman mengajak untuk belajar tentang penulisan di Kompasiana. Teman ini dari komunitas Ketapels . Ketapels singkatan dari Kompasianer Tangerang Selatan (lokasi tempat tinggalnya di area Tangerang Selatan). 

Belajar menulis tentang reportase, oleh Sandy Gapey buat saya sangat dalam sekali maknanya. Teori yang diberikan segera dipraktekkan. Tidak mudah masih jauh dari harapan . Tetapi , paling sedikit saya sudah mulai menapak satu tahap . 

Baru mengenal satu jenis tulisan tentang reportase telah membuat saya menggeluti dunia tulis menulis. “Sharing and Connecting” , jadi slogan dari Kompasiana ketika saya bergabung dengan Kompasiana.

Slogan yang membuat saya tertarik untuk terus menulis karena dengan menulis sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain jadi motivasi saya. Meskipun “niche” dari tulisan saya tidak punya ciri khas atau khusus. Saya suka bidang keuangan, parenting, lingkungan hidup, pendidikan. Begitu ada topik yang menarik dan sedang tren untuk ditulis, , otak mulai bekerja dan menggali apa yang bisa ditulis.

Gaya tulisan saya memang belum luwes dan kaku, sehingga menulis di Kompasiana jadi ajang “training “ menulis. Tak pernah peduli dengan apa yang dilabel oleh Kompasiana untuk mengukur kualitas tulisan seperti Aktual, Bermanfaat, Inspiratif, Menarik, Mengibur, Tidak Menarik dan Unik. 

Pembaca diberikan kesempatan untuk menilai tulisan saya, tapi bagi saya interaksi dengan pembaca jadi hal yang paling penting ketimbang label dari pembaca. Ketika tulisan yang diunggah awalnya oleh admin Kompasiana dikategorikan sebagai Pilihan, tiba-tiba berubah menjadi Headline. Hati saya langsung berdegup dan berbunga-bunga. Stamina untuk bisa melahirkan karya-karya makin kencang. Saya makin mengerti dan memahami jika tulisan itu sudah di tingkat Pilihan dan Headline berarti tulisan sudah dianggap bermanfaat. 

Begitu pula dengan pangkat atau level penulis yang diberikan oleh Kompasiana dari yang berlogo hijau atau biru, bagi saya hal itu tak penting. Saya sedang memperhatikan proses penulisan saya yang memang tidak mulus. Sering merasakan “stumble block” atau tidak punya ide sama sekali. Tapi jika ada yang menarik tangan dan pikiran terus membara untuk dituliskan. 

Pengalaman yang tak pernah dilupakan, dibawah COO (Chief Operating Officer),Mas Iskandar Zulkarnaen atau dikenal dengan panggilan Mas Isjet (setelah Mas Pepih Nugraha), tiba-tiba sore hari itu saya mendapat telpon dari Kompasiana, apakah saya bersedia hadir untuk undangan makan siang bersama Presiden Jokowi di Istana. Tak peduli dengan rasa sakit perut yang saya derita saat itu, saya langsung mengonfirmasi kehadiran saya. Benak saya masih terus berpikir bagaimana Kompasiana bisa memilih saya karena saya masih penulis baru di Kompasiana. 

Serasa belum lama komando Kompasiana di tangan Mas Isjet, tiba-tiba berubah lagi ke Mas Nurul Uyuy Bukan hanya pemegang komando yang berubah, tetapi slogannya juga berubah menjadi “ Beyond Blogging” . Slogan “Beyond Blogging” ini membuat penulisnya yaitu para kompasianer bertanya-tanya apa yang terjadi dengan perubahan slogan dan misi Kompasiana? 

Menduga apa makna  dibalik slogan itu bagi para penulis alias kompasianer diharapkan? Kemungkinan bukan hanya sekedar hanya menulis atau menghasilkan karya di Kompasiana, tapi juga menghasilkan uang dari karya itu . 

 Dugaan itu boleh jadi betul. Ketika sekarang penulisan itu sudah dimonetizasi sehingga tulisan yang dianggap berkualitas baik oleh mesin google, maka hasil google analytical dengan “viewer” tinggi akan mendapatkan uang.

 Tidak semua Kompasianer mengejar uang untuk tulisannya, ada berbagai motivasi dibalik semua penulis Kompasianer. Buat diriku, aku makin tertantang untuk terus berbagi ditengah banyak perubahan platform blog, Kompasiana baik dari segi software, penampilannya, kualifikasi tulisan hingga perubahan offline interaksi antar Kompasianers 

Saya pikir memang tidak ada salahnya setiap karya dihargai dengan uang karena para blogger ini memang tak digaji tetap sebagaimana seorang jurnalis tetap. Kekuataan seorang blogger pun makin tinggi karena ada imbal hasil dari karyanya . Karya yang hebat pun perlu penghargaan hebat. 


Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman