Cerita Mudik

Jawapos.com


Pengalaman pribadi untuk mudik memang tidak pernah saya lakukan karena saya tak punya orangtua lagi. Tetapi saya pernah mendengarkan pengalaman pembantu saya yang mudik . 

Awalnya, saya minta pembantu untuk mudik bersama gratis dengan bus karena selain faktor keamanan, juga faktor lebih cepat pulangnya . Namun, dia sangat keberatan sekali katanya dia tak punya KTP Jakarta sehingga tak mungkin bisa ikut mudik gratis. Selain iut dia juga tidak mengetahui bagaimaan caranya untuk bisa antri atau masuk ke website dari perusahaan atau BUMN yang mengadakan mudik gratis. 

Setelah itu dia mempertimbangkan bahwa ketika tiba di desa, dia harus mondar mandir ke tempat rumah saudara-saudara . Paling praktis yach menggunakan motor, katanya. Terpaksa, saya relakan dia untuk mudik dengan suaminya menggunakan motor.

 Saya sendiri tak tega dan merasa tidak nyaman ketika dia pamit akan mudik dengan motor. Ada rasa was-was dan berbagai macam pertimbangan. Satu hari sebelum pembantu mudik dengan motornya, saya memberikan wejangan agar berhati-hati, tidak memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan apabila lelah. Tidak boleh main kebut-kebutan. Jangan banyak bawa barang karena sebenarnya tidak aman apabila motor membawa banyak barang.

Ditengah kekhawatiran, ada teman saya yang juga ingin mudik bersama suami ke rumah orangtuanya di Pemalang. Mereka menduga bahwa jika mudik pada hari lebaran pasti tidak akan macet. Oleh karena itu pagi-pagi buta , teman saya itu bangun dan membangunkan suami dan anak-anaknya untuk secepatnya berangkat. Ketika mobil baru saja sampai ke toll menuju Kerawang, terlihatlah dari jauh antrian mobil yang panjang sekali

. Awalnya mereka pikir itu hanya antrian masuk tol saja, setelah itu pasti lancar. Jadi mereka tetap antri. Begitu antrian, ternyata bukannya lancar, tetapi tetap saja antrian panjang mengular. Akhirnya mereka memutuskan untuk pulang kembali ke Jakarta. 

Ketika sampai di rumah, dia menelpon saya. 
“Hi, kamu sudah sampai di Pemalang?” tanya saya. 
“Belum!” katanya 
“Balik ke Jakarta!” serunya.

 Saya kaget. Lalu dia menjelaskan apa yang terjadi. Dia mengatakan suami tidak sanggup jika menyetir dalam kemacetan yang berlama-lama. Teman saya pun terpaksa menelpon ibunya agar ibunya tidak kecewa menunggu kedatangannya pada waktu Idul Fitri. Itulah sekelumit cerita mudik dari dua orang yang berbeda.

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman