www.pixabay.com |
Perjalanan sebuah tulisan yang sangat panjang. Dua atau tiga tahun yang lalu, rasanya untuk menulis sangat sulit sekali. Pertama karena idenya yang tak selalu sama dengan apa yang ingin ditulis. Ide besarnya ada tapi kemudian tak mampu mengembangkannya. Gaya tulisannya sangat “garing”. Bahasanya masih “belepotan”. Tidak mampu untuk mendalami materi yang sedang dituliskan. Poin-poin sudah dituliskan, tapi ketika sudah tiba dalam penulisan, rasanya kaku sekali untuk memulai. Belum lagi setelah ditengah tulisan, seringkali berhenti, kekurangan ide maupun ketidak-selarasan antara tema dengan isi di dalamnya.
Cara mengatasinya adalah berlatih. Kompasiana adalah tempat latihan menulis
saya. Barangkali ada yang mengatakan
bahwa kenapa tidak latihan di blog. Saya
sudah mempunyai blog hampir 7 atau 8.
Saya menulis di blog. Namun, saya
merasakan tantangan yang besar ketika saya menulis di Kompasiana. Di sini saya merasa bahwa saya harus menulis
yang terbaik karena beberapa faktor contohnya pembacanya adalah sesama penulis
yang sangat mumpuni, tulisan harus berkualitas untuk bisa masuk kategori topik pilihan, “headline”, terpopuler,
“featured article”.
Belum lagi jika ikut tantangan untuk review
suatu event, kekhawatiran saya
bertambah. Saya melihat siapa list dari
peserta yang ikut event. Apakah mereka
yang sering menjuarai
tulisan atau review? Secara
psikologis hal ini menjadi suatu hal yang menantang sekaligus menjadi
kekhawatiran karena kompetitornya sangat berat.
Jungkir balik ketika saya menyiapkan bahan dan
materi yang akan saya tulis. Kesulitannya adalah jika bidang yang saya
tulis bukan kompetensi saya. Idenya
tidak akan keluar hampir dua hari. Jika
keluar pun akan terasa “garing” dibaca.
Jika bidangnya memang menyenangkan atau saya sukai, dengan senang hati, saya akan mengumpulkan semua data, bahan, membacanya,
mengolahnya dan mulai membuat sketsa atau langsung menuliskan sesuai dengan apa
yang telah disusun.
Berlatih untuk memulai sesuatu yang sulit itu
perlu tekad dan motivasi kuat.. Jatuh bangun ketika akan memulainya. Awalnya
saya masih bersemangat, tetapi ketika saya mencoba untuk mengukur dan
mengevaluasi sampai dimana kualitas tulisan yang saya “publish” . Namun, ketika
bertubi-tubi , tulisan itu tak pernah menghasilkan kemenangan, semangat saya mulai kendur. Bahkan, tulisan itu mulai tak terasa
gregetnya. Semangat yang kendur itu
seringkali membuat saya mundur untuk menulis.
Ketika pada suatu titik, saya melihat bahwa motivasi saya untuk menulis
adalah salah, hanya mengejar suatu kemenangan untuk bukti bahwa tulisan saya
diterima oleh pembaca. Mulailah kesadaran
atau titik balik bahwa tulisan itu harus membawa berkah, menang atau tidak itu
hanya sebuah “milestone” dari sebuah perjalanan.
Semangat untuk memperbaiki isi tulisan dalam
bentuk reportase ada, tapi kesempatan untuk belajar belum ada. Suatu saat kesempatan
itu ternyata diberikan oleh Ketapels yang mengadakan Nangkring
belajar reportase bersama Gapey Sandy, seorang ex reported media cetak yang ternama dan pernah mendapatkan awards dari DKI dari liputannya.
Kesempatan yang sangat langka ini tak saya
sia-siakan. Mendaftar dan ternyata
saking semangatnya, saya menunggu jawaban untuk ikut itu harus saya yang
mengejar. Biasanya jika nangkring
bersama Kompasiana ada konfirmasi email.
Ini tidak ada. Jadi saya terus
mengejar dan mengejar.
Hari itu saya mendapatkan pengetahuan banyak
tentang reportase dari Bung Gapey Sandy yang pakar sekali dalam memberikan
pemaparan tentang reportase. Santai
tapi serius itu gayanya. Inilah
hasilnya.
Dari hasil nangkring ini diminta untuk membuat
praktek reportase dalam waktu seminggu. Seminggu, waktu yang sangat singkat
buat saya. Mencari nara sumber itu ternyata
ngga mudah. Baru pertama kali cari nara sumber yang benar-benar dapat
mengangkat suatu topik yang hangat atau inspiratif. Cari dari koran, cari dari sumber-sumber
lain seperti majalan, google, majalah lingkungan .
Akhirnya, menemukan seseorang yang saya
harapkan sangat menarik untuk ditulis.
Seseorang yang melihat banyaknya pelepah pisang di tempatnya tidak
dimanfaatkan, tetapi dibuang percuma menjadi sampah. Dengan bekal pertanyaan yang telah saya
susun sebelum bertemu dengan Pak Achsin, akhirnya saya berhasil mewancarainya.
Hasil wawancara sudah selesai, membuatnya ini
yang merupakan kesulitan baru bagi saya. Buat reportase biasanya tanpa teori ,
tapi kali dengan teori dan dengan beberapa bekal pengetahuan dari Pak
Sandy. Akhirnya, tersusun tulisan yang berjudul “Tas Pelepah Pisang Yang Mendunia”
Hampir tiga bulan berlalu usai dari waktu
pengumuman. Saya pun lupa dengan tulisan
ini. Suatu ketika saya bertemu dengan
pak Gapey Sandy pada Nangkring Siaga
Bencana melalui Media Sandiwara Radio.
Beliau mengatakan: “Selamat yach Bu Ina, jadi pemenang tulisan
reportasenya!”. Reaksi saya, bingung
karena merasa tak pernah melihat dan membaca pengumuman itu.
Lalu saya coba hubungi Ketapels, tak pernah
berhasil sama sekali. Sekali lagi saya
coba menghubungi Pak
Gapey Sandy lagi untuk minta tolong untuk dihubungi ke
Admin Kompasiana, barulah saya dapat konfirmasi bahwa saya menang. Tapi ketika hampir l l/2 bulan berlalu, saya
pikir saya harus mengejar lagi untuk hadiahnya.
Beberapa minggu kemudian, suara deringan telpon di gadget terdengar. Saya
meliriknya dan merasa tak mengenal siapa yang menelponnya. Dari suaranya terdengarlah seorang perempuan
memperkenalkan diri dari media TV, Metro TV.
Dia bertanya tentang nara sumber
tulisan saya seperti alamat, dan
hasil karyanya itu apakah betul-betul mendunia. Setelah memberikan alamatnya , saya berpikir
bahwa ternyata tulisan itu dapat menjadi berkah buat nara sumber untuk makin
dikenal oleh khalayak luas karena akan wawancara oleh pihak Metro TV. Tentunya hal ini tak pernah terpikirkan sama
sekali. Semoga Pak Achsin pun dapat
makin sukses sebagai UKM kecil menjadi UKM
(Menengah).
Tidak ada komentar
Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!