Belajar dari Perempuan Jawa: "Dadi Wong Wadon"

Dari kecil hingga kuliah, bekerja dan pensiun, saya  memilki banyak teman. Teman yang berasal dari berbagai macam suku, Jawa, Menado, Sunda, Tionghoa, Batak dan lain-lainya. 

Bergaul dengan teman-teman perempuan dari berbagai suku, merupakan suatu kekayaan budaya . Mengenal budaya dari segala perspektifnya membuat wawasan dan kekayaan tentang budaya itu berkembang luas. Keberagaman ini sangat menyenangkan sehingga saya tak merasa perlu berkonflik jika saya berbeda dengan mereka karena saya sudah lebih mengenal lebih dulu budaya dari masing-masing teman saya.

Berhubung saya seorang Jawa, saya lebih mengenal budaya Jawa. Terutama dari kalangan perempuannya. Tidak bersifat “Feminisme” atau mempertentangkan gender. Tapi saya hanya melihat dari sudut pandang bagaimana perjuangan seorang perempuan Jawa mempertahankan budaya Jawanya ditengah gempuran modernisme barat atau budaya barat. 

Kebetulan seorang teman dekat saya seorang perempuan Jawa menikah dengan suaminya yang berketurunan Tionghoa. Sebut saja namanya, Hartini (bukan nama sebenarnya). Dikaruniai tiga anak perempuan yang sangat cantik-cantik . 

Begitu berkenalan dengannya, kesan awal yang saya tangkap saat bertemu dengan anaknya yang telah menjadi gadis adalah kekaguman besar. Anak itu memanggil ibunya dengan “Ibu” dan selalu cium tangan sebagai tanda menghormati kepada orangtua, berpamitan dalam bahasa Jawa halus : “Ade kresa tindak datheng kantor” (“Ade akan pergi ke kantor”).

 Pergumulan batin teman saya saat menikah dengan suaminya yang juga punya tradisi kuat sebagai keturunan Tionghoa. Dimana keluarga suami sangat membanggakan keluarga yang memiliki anak lelaki sebagai penerus keturunan. Dalam batinnya, Hartini penuh dengan kepedihan hati, karena budaya Jawa tidak membedakan jenis kelamin anak, apakah itu perempuan atau lelaki. Semua anak dianggap suatu anugerah. Tapi dia sebagai istri Jawa yang sangat mengenal filosofi “Jawa”, dua makna simbolis terkait relasi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Ruang sosial Jawa terpusat pada rumah tangga. Dunia batin manusia Jawa menempatkan perempuan sebagai pengemong laki-laki, maka perempuan dianggap lebih kuat, kekuatan yang bukan untuk menguasai tetapi untuk menerima kelemahan dan kerapuhan laki-laki. Kerapuhan laki-laki diartikan bahwa dia secara utuh menyerahkan diri kepada perempuan agar perempuan bisa menjaga keseimbangan dunia. 

Berangkat dari cerminan di atas, Hartini, ternyata ada istilah Jawa “dadi wong” yang berarti “dalam proses menjadi” (aktif dan dinamis). Pilihan kata wadon bukan wedok berdasarkan studi semantik bersifat konotatif, artinya positif. Walaupun latar belakang pendidikan dengan suami Hartini berbeda, dimana disiplin barat dan rasional diterapkan di keluarganya. Tapi dalam diri Hartini dengan pengetahuan secara rasional selalu menerapkan tradisi Jawa bagi anak-anaknya. Dia memegang teguh semua tradisi Jawa dan tidak terpengaruh dengan modernitas dari keluarga suami maupun dunia luar di sekelilingnya. 

Pada saat anak pertama, perempuan, menikah, Hartini melakukan tradisi selametan dan upacara adat yang sangat lengkap 

Midodareni: 

http://users.skynet.be/dvran/M_siraman.htm

Malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di kediaman calon mempelai putri.

Tahap pertama, upacara 'nyantrik', untuk meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara pernikahan pada waktu yang telah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.

Tahap kedua, keluarga calon mempelai putri siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya pengantin. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari. 

Pernikahan: 

http://users.skynet.be/dvran/M_siraman.htm


Panggih (Temu) Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus. Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Maknanya adalah penangkal (tolak bala). Setelah selesai berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 

Urutan dari upacara 'Panggih' atau 'temu' (dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra): 

 1.Balangan gantal/ Sirih 

Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan.Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.

 2.Wijik 

Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra. 

3.Pupuk 

Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya. 

4.Sinduran/ Binayang 

 Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu. 

 5.Bobot Timbang

 Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya. 

6.Guno Koyo - Kacar-kucur 

Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan. 

pinterest.com
Melihat upacara yang sangat lengkap dan sempurna, saya terpana dan tertegun, “Dadi Wong Wadon” dalam budaya Jawa merupakan representasi dari sebuah modernitas dalam pembangunan manusia modern. Pertahanan dari tradisi budaya Jawa ini yang penuh dengan filosofis itu menjadi kekuataan bagi seorang perempuan dalam makna keberadaan sosial maupun keluarganya.

Seorang Hartini mampu melestarikan budaya Jawanya walaupun tantangan di dalam keluarga dan di luar lingkungannya. Dia meyakini bahwa seorang perempuan Jawa “durung dadi wong wadon” jika belum srawaung. Srawung artinya tidak sekedar berada dalam tataran masyarakat tetapi dia menjadi penghubung sosial yang mengikat seluruh anggota masyarakat dengan prinsip atau filosofi yang ada. 

Sumber referensi:
  •  Dadi Wong Wadon: Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern oleh Risa Permanadeli 
  • Adat Kebiasaan Suku Jawa – Afiatun Nafiah 
  • Wikipedia
  • Pengalaman Pribadi

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman