 |
Freepik.com |
Saya merasakan suasana dan nuansa “home” di kantor saat pertama kali bekerja di kantor. Relasi antar karyawan sangat dekat, kami saling menyapa seperti teman atau keluarga, tidak ada perbedaan kasta antara karyawan level rendah dengan atasan yang sudah memiliki jabatan tinggi, saling membantu apabila salah satu karyawan yang baru direkrut.
Tidak ada panggilan Bapak atau Ibu, sapaan yang paling akrab adalah dengan memanggil langsung nama masing-masing. Atasan pun dipanggil nama panggilannya.
Suasana guyub dan dekat satu dengan yang lainnya ini membuat saya betah dengan kondisi pekerjaan di kantor.
Meskipun tiap pagi saya sebagai seorang ibu merangkap sebagai karyawan saya harus berjibaku dengan waktu dan tugas.
Pagi-pagi harus memasak dan menyiapkan makanan anak untuk bekal di sekolah, lalu harus menyiapkan diri pagi-pagi , pukul 6.15 harus siap dijemput oleh mobil antar jemput.
Mengapa sepagi itu harus berangkat ke kantor? Jarak rumah saya dengan kantor cukup jauh sekitar 16.50 km. Dulu saat saya pertama pindah ke rumah, kondisi lalu lintas masih sepi sehingga tak pernah merasa sulit untuk menentukan waktu berangkat ke kantor. Namun, berjalannya waktu, ternyata lalu lintas sangat padat sekali.
Jika tidak berangkat pagi-pagi, saya dan teman-teman seanter jemput bisa terjebak dalam kemacetan. Akibatnya bisa fatal, kami semua akan terlambat, dan ada teguran dari atasan dan rapor merah.
Jam kantor pulang jam 17.00, tetapi tidak bisa selalu tepat waktu, kadang-kadang harus mengikuti rapat yang bisa sampai pukul 19:00. Jika pulang tepat waktu pun, tiba di rumah sekitar 19:00.
Hidup di Jakarta waktunya serasa dihabiskan di perjalanan, jarak tempuh yang seharusnya dapat ditempuh dalam jangka waktu 1 jam, berubah menjadi 2 jam. Pertambahan mobilitas warga yang memiliki mobil, motor tanpa pertambahan jalan membuat lalu lintas semakin padat dan merayap.
Perjalanan yang melelahkan dan pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi dan energi yang sangat besar tidak menyurutkan saya untuk tetap bekerja di perusahan.
Saya menyukai pekerjaanku yang dinamis dan penuh dengan dinamika untuk belajar berbagai produk dari perbankan.
Pekerjaan yang sangat menarik passionku karena belajar dan menimba ilmu sekaligus bekerja melayani customer-customer korporasi.
Tanpa terasa tahun demi tahun berlalu dengan sangat cepatnya, serasa baru saja saya bergabung di Perusahaan multinasional , November 1, 1980, tiba-tiba sudah hampir mendekati masa pensiun. Usiaku memang tak muda lagi .
Mulailah saya merasakan perubahan dalam kebijakan Perusahaan, mudah sekali merekrut anak milenial yang baru saja lulus atau disebut dengan “fresh graduate”. Kami, para senior diminta mengajarkan pengalaman kami dalam berbagai aspek pekerjaan.
Itulah awal dari ketidak-nyamanan suasana kerja. Mulai adanya kompetisi antara milenial dan para senior.
Strategi Perusahaan untuk mengurangi para senior dengan mengganti karyawan yang masih muda mulai dijalankan.
Kompetisi di dalam unit pun dilaksanakan. Kompetisi untuk bekerja berdasarkan proyek yang berbasiskan teknologi diterapkan.
Terpaksa kami yang senior selalu kalah dalam kompetisi ini. Di sinilah Perusahaan mulai menawarkan pensiun dini bagi para senior.
Bagi yang ingin pensiun dini, ditawarkan untuk langsung menanda-tangani pensiun dininya. Skema atau paket pensiun dini tidak semenarik seperti yang pernah dilakukan sebelumnya. Perusahaan hanya memberikan ultimatum, “take it or leave it”. Jika kita menolak, ada konsekuensi yang dapat dilakukan Perusahaan. Mereka akan menempatkan kami di tempat atau unit yang biasanya yang dianggap sebagai unit “sampah” atau sering disebut juga unit buangan.
Pergumulan berat menjadi anak buangan atau ambil pensiun dini. Selama hampir setahun saya terus menghitung, mengkalkulasi apakah saya sudah siap untuk pensiun dini.
Kajian yang saya lakukan hanya sendirian, tanpa bisa berkonsultasi kepada teman, ahli atau pasangan.
Usia saya memasuki 51 tahun, sementara anak tunggal baru akan memasuki perguruan tinggi. Kebutuhan biaya yang sangat besar sekali. Meskipun sudah ada tersedia untuk biaya pendidikan, tetapi saya menghitung kembali , apabila saya tak punya gaji sebagai “fixed income” , maka saya bisa menggerogoti uang Tabungan atau uang pendidikan anak untuk biaya hidup saya.
Dilematisnya, suami juga sudah masuk masa pensiun dan hanya bekerja sebagai freelancer professional. Tetapi pendapatan freelancer itu tak selalu tetap dan tidak besar sehingga tak bisa menambah dana untuk rumah tangga sepenuhnya.
Perusahaan tempat saya bekerja tak memiliki fasilitas untuk persiapan bagi para pegawai yang akan pensiun. Tema training di kantor hanya berfokus kepada produk saja, tidak ada materi atau bahan untuk persiapan pensiun.
Di ujung waktu pensiun saya harus mencari dan menggali informasi dari berbagai referensi atau teman-teman yang sudah pensiun duluan. Informasi yang membingungkan karena tidak ada buku panduan yang komprehensif mulai dari persiapan fisik, psikis , pernikahan dan finansial.
Acuan referensi yang didapatkan sangat minim berasal dari pengalaman teman, saudara saja.
Usaha atau bisnis apa yang sesuai dengan karakter saya pun , saya bingung karena sebagai seorang pegawai yang tidak berpengalaman dalam bidang usaha kecil belum pernah dilakukan. Mulai dari mana, modal dari mana, bagaimana cara mengatur dan melakukan usaha.
Pola pikir saya masih terpaku sebagai seorang pegawai, yang tak punya jiwa sebagai seorang wiraswasta .
Saya pernah diajak teman-teman untuk menjadi agen asuransi, tidak cocok karena karakter saya bukan tipe marketing yang pandai berbicara , berargumentasi dan berkomunikasi.
Saya juga pernah mengajar anak-anak SMP atau SMA, tetapi saya sedikit “kewalahan” karena ilmu yang saat ini diterapkan sangat beda dengan ilmu di era saya belajar.
Saya juga pernah bertanam sayuran dan bunga, tetapi tanaman saya yang saya beli sering mati . Bagaimana bisa menjual tanaman kepada orang lain, merawat tanaman sendiri saja tak mampu?
Berkecamuk pikiran yang saya rasakan.
Insomnia kambuh karena setiap kali saya punya beban berat dan belum terselesaikan, pasti saya tak bisa tidur. Meskipun tubuh lelah, tetapi pikiran saya tidak bisa tidur dengan tenang. Mata saya tak bisa dipejamkan,hanya tertidur sesaat jelang pagi hari. Pastinya hal ini akan menambah buruknya kesehatan jika dilanjutkan terus menerus.
Dalam perenungan yang saya dapatkan, saya harus mencari dulu passion saya. Nach untuk mencari passion pun luar biasa sulitnya.
Mengidentifikasi diri sendiri bukan hal yang mudah karena jiwa dan karakter saya sudah terbentuk dan untuk menemukan apa yang saya sebenarnya sukai bagaikan sebiji sesawi di ladang yang luas.
Waktu bergulir terus tak pernah berhenti. Supervisor saya kembali bertanya bagaimana tawaran pensiun dini bagi saya.
Seolah tersentak , keputusan harus diambil, baik atau buruk harus punya keberanian untuk menandatangani pensiun dini.
Bagaikan seseorang yang akan kehilangan tempat berpijak. Sehari sebelum tanda tangan pensiun dini, saya berkeliling ke semua departemen dengan diam-diam. Hampir semua ruang-ruang atau departemen yang pernah menjadi bagian dari hidup saya, sambil teringat dan mengenang kisah bekerja dan teman-teman yang sebentar lagi akan saya tinggalkan.
28 Februari 2009 menjadi hari terakhir dan Sejarah dalam kehidupan saya.
29 tahun mengabdi di suatu Perusahaan dan meninggalkan dengan kesan dan pesan yang tak pernah dilupakan dan kadang-kadang ada rasa menyesal kenapa tidak bisa bekerja tuntas sampai purna pensiun tiga tahun lagi.
Masa awal pensiun
Sebuah keputusan yang akhirnya mengantar saya ke tahap kehidupan yang disebut dengan pensiun.
Di minggu pertama pensiun, saya masih bisa menikmati dengan senang. Saya merasa nyaman karena seperti sedang cuti saja.
Namun, memasuki minggu ketiga, saya tersadar bahwa hidup saya telah berubah, mengapa kehidupan saya seperti “silo”, tidak berarti apa-apa. Mental saya terguncang kembali, ada yang hilang dalam diri saya. Saya seperti bukan seperti saya lagi. Saya tak punya makna apa-apa untuk hidup ini.
Goncangan demi goncangan mengikat pikiran, perasaan dan jiwa saya.
Sepi dan mati raga itulah kehidupan awal pensiun saya. Kesadaran datang ketika seseorang mengatakan kepada saya, mengapa saya berubah jadi lebih pendiam dan tidak mau berinteraksi dengan teman. Oh, saya segera berpikir, sakitkah mental saya? Bisa juga jika saya biarkan stress menjadi depresi, dan akhirnya jika berkepanjangan menjadi sakit jiwa.
Saya tak mau membiarkan hal itu terjadi, mulailah saya mencari-cari hakekat diri saya.
Dari segi spiritual, saya menemukan kelompok Persekutuan doa . Di Persekutuan doa ini, semua anggota Persekutuan doa tidak mengerti bahwa saya sedang bergumul dengan diri saya sebagai seorang pensiunan. Saya mencari dan ingin mendapatkan arti hidup saya melalui Tuhan . Perjalanan spiritual yang terjal dan panjang harus dilalui. Tidak mudah kadang-kadang saya merasa terbangun dengan segala firman yang disampaikan, tetapi adakalanya, saya merasa hidup “sunyi” tak bermakna.
Saya harus mulai dengan kegiatan apakah itu bekerja atau berbisnis. Belum punya ide sama sekali.
Pada suatu ketika saya bertemu dengan seorang teman yang berprofesi seorang Financial Planner.
Panjang lebar saya kemukakan apa yang terjadi dengan diri saya dan saya butuh bantuannya untuk menemukan diri saya dalam melanjutkan hidup.
“Apakah saya harus berbisnis ? Jika berbisnis, bisnis apa yang cocok dengan diri saya?”
Teman saya menjawab: “Profil keuanganmu adalah seorang konservatif. Jika berbisnis , kamu serba takut tidak profit , semua bisnis ada risiko tidak profit. Jika kamu gunakan uang pensiun kamu untuk modal kerja suatu usaha yang cukup besar, dan ternyata rugi, kamu pasti akan menyesal seumur hidup”.
Lalu, saya direkomendasikan untuk mulai mengatur keuangan dengan passive income dari aset dan dana pensiun yang dimiliki.
Atur sesuai dengan profil saya yang termasuk sebagai konservatif. Memilih produk keuangan yang sifatnya risiko kecil dan hasil imbal hasil juga kecil.
Di samping itu mengatur ulang semua pemasukan dan pengeluaran yang notabene jauh berbeda ketika saya dan suami masih aktif bekerja.
Lifestyle atau gaya hidup kami rubah sedemikian rupa. Kami tidak bisa makan-makan di restoran setiap minggu, cukup satu bulan sekali.
Kami merelakan mobil untuk dijual karena kegiatan kami yang mulai terbatas. Kami menggunakan transportasi online untuk kegiatan di luar rumah. Kami juga membatasi hobi yang menghabiskan dana besar, dulu saya suka untuk travelling yang cukup menyita dana besar sekali travelling.
Kesehatan harus saya jaga dengan berolahraga ringan .
Awalnya saya ikut olahraga senam tera di komunitas dekat rumah saya. Namun, saat Covid, dihentikan dan sekarang saya merasa nyaman untuk berolahraga yoga setiap hari di rumah.
Kegiatan sosial pun saya lakukan meskipun tidak rutin, saya pernah mengajar di anak-anak jalanan. Sekarang saya ikut sebagai anggota komisi pelawatan . Saya bersama-sama dengan teman sering mendapat panggilan untuk melawat anggota gereja kami yang sakit.
Titik terang kegiatan positif
Satu hal yang tak pernah saya pikirkan dalam perjalanan hidup pensiun saya adalah menemukan passion yang serba terbatas yaitu menulis.
Tertarik dengan iklan workshop “Creative Writing”, saya datang hadir dalam workshop penulisan diadakan oleh Kompas.
Pemaparan singkat dari seorang penulis dan jurnalis, copywriter, Maggie Tiojakin, merupakan titik kebangkitan saya. Meskipun saya tak punya skill dan talenta, tapi menulis itu merupakan suatu skill yang bisa dipelajari.
Itulah titik awal saya memulai perjalanan sebagai penulis pemula tanpa pengalaman menulis. Semuanya serba nol. Mempelajari tehnik ,gaya bahasa dan memulai fokus kepada jenis penulisan yang disukai.
Ketika menulis pertama kali, saya hanya dapat menuliskan sebuah pengalaman dengan satu alinea saja, tanpa pembuka, tanpa penutup. Pasti semua pembaca bingung, ini tulisan apa? Tidak mengapa, saya tak pernah putus asa. Daya juang saya cukup tinggi.
Seiring dengan waktu, saya selalu mengikuti beberapa kursus atau workshop tentang penulisan baik itu diadakan secara privat atau kelompok. Bahkan saya ikut masuk dalam kelompok penulisan , Blogger Perempuan dan lain-lainnya.
Satu hal yang membuat saya senang sekali dalam menerbitkan tulisan sendiri adalah menerbitkan tulisan di blog sendiri.
Blog sendiri? Saya juga belajar dari nol bagaimana membuat sebuah blog dengan teknik yang paling sederhana. Saya sudah tak mampu lagi belajar soal coding-code yang dibutuhkan untuk membuat website, tapi blog sederhana hasil membuat sendiri itu akhirnya jadi. Inatanaya.com. Blog ini menjadi tempat penting untuk menuangkan gagasan, ide, opini.
Dari sebuah blog pribadi yang sederhana, saya akhirnya mampu mengikuti beberapa kompetisi penulisan . Kompetisi yang diselenggarakan oleh Perusahaan besar seperti Astra, Pertamina, Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Bukan soal jadi pemenang yang saya kejar, tetapi pengalaman bisa berkompetisi dengan mereka yang sudah berpengalaman dalam menulis. Saya bisa mengukur bahwa kemampuan saya masih di taraf sekian dan apa yang perlu diperbaiki, dikembangkan bahkan riset dan referensi yang dibaca makin banyak. Inilah perkembangan dari sebuah proses penulisan yang saya jalani.
Jalan terjal dan tantangan dihadapi saat saya menyerahkan satu artikel di suatu platform . Ditolak oleh editor dengan kata-kata yang pedas dan membuat telinga dan dada saya sesak sekali.
Apakah mau dilanjutkan karena passion ini secara ekonomi tidak menghasilkan uang yang besar.
Nilai suatu tulisan belum jadi patokan bahwa ada harga atau nilai sesuai dengan nilai yang dibayarkan.
Pergumulan batin kembali menyeruak, apakah dengan segudang kesulitan yang ditemui sebanding dengan hasilnya?
Sulitnya ketika ingin meninggalkan passion itu, saya selalu diingatkan kembali apakah kamu ingin menjadi tipe pejuang atau tipe pecundang. Berkali-kali saya mengamati dan menganalisa diri saya, apa yang saya inginkan? Benarkah saya mencari aktualisasi secara murni atau sekedar untuk menghabiskan waktu yang sia-sia.
Bangkitlah saya menghadapi tantangan yang tak sederhana. Saya mulai mempelajari lagi perkembangan penulis di era teknologi . Dikenal sebagai Copywriter
Tiga buku antologi sudah terbit, yang pertama berjudul “Kekuatan Doa” diterbitkan oleh Gramedia Pustaka. Antologi kedua berjudul “Puspa Ragam Kisah Inspiratif Warga 50+”, diterbitkan oleh Leutikaprio dan antologi ketiga berjudul “Merdeka dari Kekerasan” diterbitkan oleh Yayasan Jari (Fakultas Kedokteran Unjani).
Di tahun 2022, saya mengikuti “internship” sebagai SEO Copywriter di Long Distance Creator, sebuah agency dari karya-karya kreativitas digital.
15 tahun sudah berlalu sejak masa pensiun, tapi perjuangan masih berlanjut, saya masih mengikuti Upgrade Skill CrowdsMeetingup mempelajari kreativitas di bidang video, penulisan dan skill yang lain.
Inilah sekelumit kisah pensiun dini saya yang tidak direncanakan dan penuh dengan batu-batu terjal.