Surga dari Matahari Pagi Bromo


Bromo
Bromo, dok-pri



Empat puluh tahun yang lalu, Aku bermimpi untuk menyaksikan surga dari matahari pagi Bromo. Ketika orang yang sudah berjanji mau mengantarkan diriku ternyata mengkansel janji itu. Mimpi itu tak pernah padam setelah sekian puluh tahun.

Realisasi mimpi itu telah kutepati pada tanggal 5 Agustus yang lalu. Sebagai seorang senior, rasa keraguan mampukah melewati medan yang tak mudah , mampukah aku tak tidur dan harus berjalan kaki (aku punya kelemahan tak kuat jika tak cukup tidur malam). 

Lintasan keraguan itu terjawab sudah dengan tekad yang cukup tinggi. Berbagai rintangan seperti tidak ikut rombongan yang dari Malang karena pasti kondisi fisik dengan para anak muda beda sekali. 

Jadi aku berangkat dengan keluarga kecil hari Senin tanggal 4 Agustus dari Malang ke Lereng Bromo Hotel siang harinya. Hal ini merupakan antisipasi ngantuk para supir yang aku baca sering kecebur jurang di Bromo. Hingga dekat hotel, kabut tebal sudah menggelayut, wah repot ini. Aku mohon kepada supir untuk berhati-hati karena jalan meskipun sudah bagus tapi lika liku dan menanjak serta sempit membuat hati ciut.

Akhirnya jam 14:45 , kami tiba di Lereng Bromo Hotel. Disambut dengan baik oleh resepsionis, lalu kami diberikan kesempatan untuk “tea time” dengan kudapan ringan. Tak terasa kami pengin istirahat puku 22:00, tapi mata belum kunjung mengantuk. Akhirnya baru pukul 12:30 mulai tidur. Namun, bunyi alarm 2:30 membangunkan diriku. Bergegas kami menyiapkan diri untuk naik jeep menuju perbukitan . 

 Awalnya aku janjian pukul 4 dengan pengemudi Jeep. Namun, pengemudi bilang ngga bisa bu, antriannya panjang, nanti kita tidak dapat tempat! Pengemudi jeep wisata itu ternyata seorang agak tua . Tapi terlihat gesit melewati jeep yang sudah sliweran ditengah mala mini. Sesudah bayar tiket di Taman Nasional Bromo, saya mulai sadar begitu banyaknya jeep dan motor yang semuanya sudah berbaris memasuki area Bromo. 

Saya pikir hari Senin bulan Agustus akan lebih sepi karena bukan hari libur, tapi kenyataan berbeda. Jeep sudah dapat tempat parkir di depan warung. Kami diminta jalan kaki, katanya tidak jauh tapi cukup tinggi naiknya. 

 Tidak lama kemudian ada beberapa tukang ojek yang datang menawari untuk naik ojek ke tempat lain yang view jauh lebih bagus. Sayang, harganya mahal, tiap orang minta Rp.150,000 untuk pulang pergi. Jadi akhirnya saya naik tangga itu dengan perlahan-lahan, mungkin ada 100 tangga. 

 Selagi semua orang masih nongkrong di tempat warung, kami sudah pilih tempat yang strategis untuk foto. Menunggu hampir dua setengah jam, mulailah matahari dengan sinarnya berwarna kuning keemas an muncul di ufuk timur. Saya mengabadikannya. Juga saya sangat kagum dengan Gunung Batok yang diselimuti dengan awan memutih bagaikan salju. BErdecak kagum saya melihat keindahan alam nan bagus. 

Begitu selesai melihat, sekitar jam 6.00 kami turun dari Bukit Penanjakan. Kami istirahat sebentar di warung minum the hangat dengan roti pengisi perut. Melanjutkan perjalanan menuju savana , jalan yang sangat ambrul adul, dikocok-kocok. Perut sangat mules jika tak diisi . Kabut gelap menggelayut, hebatnya pengemudi sangat handal dalam mengarungi jalan . Sesampai di bukit Savana, saya turun dan ternyata kabut gelap pekat masih terus menggelayut. Suami minta dilanjutkan saja. Lalu, kami menuju kawah Bromo. 

Taman Edelweiss



Sesampai di kawah ini ternyata kondisi juga sama, masih gelap gulita oleh kabut. Kami meneruskan saja perjalanan menuju ke Taman Edelweiss. Sebuah taman yang penuh dengan bunga-bunga, namun pemandangan di kanan kiri dengan pepohonan tinggi dan udara dingin sangat indah dan biasanya taman ini digunakan untuk tempat nongkrong karena ada tempat café. Selesai dari Taman Edelweiss, kami langsung ke Hotel Lereng Bromo. Setelah check-out kami kembali ke Malang.



Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman