Yuk, Wisata Jateng dengan Mengenal Ketoprak, Budaya Jawa Tengah

Jalan-jalan ke Solo bukan hanya untuk wisata kuliner atau wisata hiburan saja, tetapi ada wisata budaya yang sangat menarik. Beberapa minggu terkahir, saya gembira membaca di Kompas memberitahukan bahwa anak muda zaman sekarang sudah menyukai dan mengenal budaya lokal. Bukan hanya mengagungkan budaya internasional yang menyerbu ke Indonesia.
www.sragenpos.com

Kita juga perlu mengenal lebih dekat dengan “Ketoprak” di Jawa Tengah. Nama ketoprak bukan diasosiasikan dengan nama makanan. Nama Ketoprak di Solo adalah suatu pertunjukan kesenian atau dikenal dengan nama Opera Jawa Tengah. Nama “ketoprak” terkait dengan alat musik kentongan yang digunakan untuk mengumpulkan penonton sebelum pertunjukan dimulai. 

Dalam bahasa Jawa, memukul kentongan disebut “keprak” dan pertunjukan yang dilakukan setelah kentongan di-keprak disebut “ketoprak”.

Para pemainnya memakai kostum seperti wayang atau saat ini sudah dimodernisasi dengan kostum khas Jawa Tengah, pemain perempuan dengan pakaian kebaya lengkap, pemain lelaki dengan kostum ala jawa dengan memakai blangkon. Pemain melakonkan cerita dengan menyanyi atau disebut sindhen. Nyanyian jadi unsur penting dalam pertunjukkan. 

Lahirnya Ketoprak pada tahun 1909 sebagai alat perjuangan terhadap penjajahan. Untuk memperjuangkanya dengan pertunjukan agar kesadaran masyarakat tentang penjajah makin jelas. Seiring dengan kemajuan zaman, ketoprak menyajikan cerita keseharian yang terjadi. Pemainnya tak menggunakan teks khusus. Kepiawaian pemain dalam improvisasi saat berkomunikasi jadi andalannya.

Masa kejayaan ketoprak pada tahun 1977 oleh seorang tokoh pendirinya Teguh Srimulat. Teguh Srimulat berinisiatif merenovasi gedung kesenian ketoprak yang ada di Taman Balekambang. Gedung ini sebelumnya tidak diurus dan dibiarkan begitu saja. Pertunjukan ketoprak pun kembali marak di Kota Solo Dari kelompok ketoprak yang berkembang di Taman Balekambang ini, muncul sederet pelawak kenamaan di tanah air. Seperti misalnya Nunung, Mamiek Prakoso, Gepeng, dan lainnya.

Sayangnya, masa suram pun menggelayut di Pertunjukkan Ketoprak. Para penggemarnya mulai meninggalkan budaya ketoprak ini satu persatu. Adanya serbuan dari budaya atau tontonan berteknologi tinggi jadi ancaman. Jika penggemarnya tak lagi mengapresiasi budaya lokal setempat, dipastikan budaya ini akan hilang dari bumi Solo. 

Mari kita semua ikut berpartisipasi dalam mengembalikan dan melestarikan Ketoprak dengan menontonnya di Solo.

Tulisan ini diikut-sertakan dalam LombaBlog Visit Jawa Tengah 2015

Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman