Menggugat Asap, Menggugat Diri Sendiri

"We do not inherit the Earth from our ancestors, we borrow it from our children”

 

                     
Suatu ungkapan yang sangat mengganggu pikiran saya sejak terjadinya kabut asap menggelayuti di Sumatera dan Kalimantan. Hampir empat bulan lamanya kabut asap telah menjadi tragedi kemanusiaan dan kerugian ekonomi bagi bangsa Indonesia.

Korban-korban penderita ISPA meninggal dunia karena kehilangan udara bersih yang digantikan dengan kabut asap . Kabut asap merugikan ekonomi karena banyak orang yang tak dapat bekerja di luar rumah seperti warung nasi, berjualan, pesawat udara tidak dapat mengudara . Kabut asap juga merugikan anak sekolah karena tidak dapat masuk ke sekolah karena kepungan asap. Kabut asap merupakan bencana bagi ekologi bumi Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimatan. Biodiversitas fauna dan flora hilang, rusaknya habitat dan hilangnya serta punahnya hewan yang dilindungi seperti kera, gajah, hilangnya harmonisasi antara alam, hewan dan manusia. 

Tak pernah membayangkan betapa warga yang berada di Sumatera dan Kalimantan terus berteriak baik kepada Pemerintah, maupun kepada semua pihak “STOP KABUT ASAP”. Sampai saya menerima berita dari detik ke menit, ke jam dari seorang teman facebooker yang tinggal di Riau, menyerukan dan menyuarakan keras, keputus-asaannya untuk kesehatan anaknya yang masih balita. Apakah perlu mengungsi? Mengungsi dimana? Seluruh tempat di Sumatera sudah dipenuhi oleh kabut asap . Tak ada tempat yang aman di sana. Sedih sekali, saya mendengar dan melihat kenyataan itu. Tapi tak mampu berbuat apa-apa.

Pemerintah Daerah Setempat seolah tak bergeming. Tak mampu mengatasi dengan tegas kepada mereka yang telah melakukannya pembakaran Gambut di perkebunan Kelapa Sawit. Perkebunan Kelapa sawit menjadi andalan dari komoditas produk kebutuhan sehari-hari yang dibutuhkan manusia. Kehadiran Kelapa sawit di satu sisi memang jadi primadona bagi pemenuhan kebutuhan manusia karena buah kelapa sawit itu dapat diproduksi menjadi produk turunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Mulai dari sabun, margarine, minyak goreng, kosmetik sampai makanan olahan. 

Di sisi yang lain, produsen hanya memproduksi secara komersial tanpa mengingat kepentingan ekologi, sosial maupun tata kelola produksi yang standar dan baik. Alih-alih merawat, mengadopsi cara manajemen perkebunan sawit yang baik sesuai dengan standar dari RSPO, para pemilik perkebunan sawit melakukan tindakan yang tak terpuji. Untuk memudahkan dan mengirit biaya penambahan perluasan perkebunan sawit, mereka membakar gambut. Memadamkan kebakaran di lahan gambut memiliki tingkat kesulitan amat tinggi dengan kebutuhan air yang luar biasa banyak. Rata-rata usia gambut hampir 10.000 tahun pada sampel dari kedalaman 10 meter. Ketika musim kemarau, dasar api tidak kelihatan karena ada di bawah permukaan gambut. Pembakarannya tidak sempurna sehingga menghasilkan banyak asap. Pemadamannya butuh air yang sangat banyak.

Lalu, apa yang harus saya lakukan sebagai pelaku dan pengguna atau yang disebut konsumen dari berbagai produk itu. Apakah saya cukup berteriak-teriak dan seperti teman facebooker, memperlihatkan kegalauannya dengan asap? Ternyata bukan itu solusinya. Setiap orang pun tahu kabut sangat bahaya, tapi tak ada yang mengambil tindakan apa-apa. Menyumbang uang bagi korban asap, memang baik. Tapi apakah saya ikut bertanggung jawab atas alam yang telah dirusak itu? Alam yang rusak itu bukan hanya untuk anak cucu saja, tetapi apakah kita mampu merawatnya secara berkelanjutan dan mewariskannya dalam kondisi yang terjaga bukan dalam kondisi yang rusak dan merugikan.

RSPO adalah asosiasi nirlaba internasional yang berdiri pada tahun 2004 dan mempersatukan para stakeholders dari tujuh sektor industri minyak sawit, yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan (Certified Sustainable Palm Oil, CSPO). Kehadirannya sungguh merupakan angin segar bagi terciptanya sustainable palm oil karena mempunyai tujuan jelas dan mulia yaitu RSPO akan mentransformasi pasar untuk menjadikan minyak sawit berkelanjutan sebagai norma. 
wwfindonesia.com

Sementara itu, menjaga secara berkelanjutan bukan hal yang mudah bagi saya. Komitmen tinggi itu saya lakukan dengan hal-hal kecil yang dapat saya lakukan secara pribadi, tapi punya dampak yang sangat besar bagi sustainable palm oil. Namun, usaha saya juga tidak mudah, karena mencari produk yang berlabel CSPO di dua supermarket pun mengalami kegagalan.

Inilah cara-cara yang saya lakukan:

  1. Carilah produk yang memiliki lambang CSPO di supermarket. Lambang CSPO menandakan produk yang dibeli oleh konsumen mengandung minyak sawit yang berasal dari perkebunan sawit dikelola secara berkelanjutan.
  2.  Carilah produk dengan label bersertifikat ramah lingkungan (eco-label), seperti FSC, MSC, ASC, dan CSPO.
  3. Hemat penggunaan produk yang tidak ramah lingkungan seperti sabun mandi,shampo, kosmetik. Jika tidak dibutuhkan tidak perlu dibeli. Saya pun menjadi pengikut Nugie, penyanyi pendukung WWF Indonesia “Mulailah dari Sendiri”, menggunakan sabun seirit mungkin, dan dipakai sampai habis.
  4. Komplain kepada members of RSPO melalui http://www.rspo.org/members/complaints  tentang kebakaran hutan yang tidak dipatuhi oleh salah satu anggotanya, jika terbukti salah satu anggota melakukan hal itu.
  5.  Pengajuan usulan kepada produsen produk yang menggunakan palm oil sebagai bahan baku dan belum mensertifikasikan produknya terutama yang dikonsumsi pemakai dalam negeri . Ini sangat penting sekali karena pengguna atau pemakai yang telah mengenal dan memiliki edukasi tentang pentingnya label RSPO, lebih memilih produk dengan label RSPO. 

Ironis bukan jika produsen bisa mensertifikasikan produk yang diekspor ke luar negeri , tetapi tidak mensertifikasi untuk produk yang digunakan dalam negeri (alasan klasik tentunya harga akan jatuh lebih mahal karena biaya sertifikasi mahal, tapi apa artinya jika itu untuk keuntungan sustainable palm oil yang dampaknya lebih besar). 

Memasarkan produk yang telah bersertifikasi ke semua supermarket agar konsumen dapat menemukannya dengan mudah. Saat ini saya mengalami kesulitan menemukan Mother’s choice di dua supermarket yang besar. 

Saran saya untuk menjadi Konsumen Bijak:
icon by freepik.com / personal college pic

Gerakan Market Transformasi:

Apabila “Sustainable Palm Oil” hanya berupa slogan saja, maka hal itu percuma saja. Aspek yang mempengaruhi agar perkebunan sawit itu menjadi sustainable palm oil, harus dilihat secara ekonomi, produksinya, sosial dan ekologisnya. Secara ekonomi, apakah perkebunan sawit itu telah mengindahkan bukan hanya faktor keuntungan atau profit semata-mata yang jadi pertimbangan dari perluasan lahan atau ekspansi dari produksi. 

Secara produksi, apakah perkebuhan sawit telah mengindahkan faktor produksinya sesuai dengan tata kelola yang disepakati seperti dalam RSPO. 

Secara sosial, apakah perkebunan sawit itu telah mengindahkan faktor buruh yang diperkejakan sesuai dengan faktor hukum perburuhan dan kesejahteraannya.

 Secara ekologis, apakah perluasan atau penambahan atau alih fungsi dari hutan menjadi lahan perkebunan sawit sudah sesuai dengan ketentuan dari kelestarian hutan keanekaragaman hayati. Jika kondisi diatas belum dapat diatasi oleh para produsen atau pemilik perkebunan sawit, kita sebagai masyarakat hanya mampu membantu dalam gerakan market transformasi.

Gerakan market transformasi lebih ampuh mengendalikan dan menghadang agar para pemilik atau produsen perkebunan sawit lebih sadar bahwa produk yang dipilih masyarakat sekarang ini adalah yang ramah lingkungan. Tentunya gerakan ini harus dimulai dari kita termasuk saya.

Mencari dan mendapatkan serta membeli produk yang berlabel RSPO dan ramah lingkungan saja. Dengan cara yang demikian, tentunya produsen mulai sadar bahwa pasar memang menghendaki produk yang sesuai dengan diminta oleh masyarakat. Tanpa adanya gerakan ini, tekanan kepada produsen tentang “sustainable palm oil” , hanya sebuah keniscayaan. 

Memakai dan menggunakan produk yang telah bersertifikasi RSPO menjamin bahwa adanya keberlangsungan alam kita tidak semakin rusak. Artinya kita sebagai konsumen telah berlaku bijak dan berkontribusi melestarikan alam dan merawat untuk generasi anak cucu kita. 



Tidak ada komentar

Pesan adalah rangkaian kata yang membangun dan mengkritik sesuai dengan konteksnya. Tidak mengirimkan spam!

Total Tayangan Halaman